Mereka keberatan terkait substansi draf RUU Sisdiknas yang dianggap tidak sesuai dengan pola pendidikan di Indonesia seperti dinyatakan Ketua Komisi X DPR RI (29/09/2022).
Jika demikian, apa makna dan urgensi forum-forum seperti Diskusi Kelompok Terpumpun, pertemuan, baik melalui webinar, temu wicara/dialog, maupun diskusi yang diadakan oleh publik dengan melibatkan pakar hukum, pakar pendidikan, serta lebih dari 90 lembaga/organisasi yang diadakan sejak Januari hingga Agustus 2022?
Apakah forum-forum tersebut lebih berfungsi sebagai “ruang sosialisasi” daripada sebagai “ruang partisipasi”?
Demikian pula halnya menjadi pertanyaan, apakah laman partisipasi publik secara online yang disediakan oleh Kemdikbudristek di https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/ juga tidak lebih sebagai “ruang sosialisasi” daripada “ruang partisipasi”.
Mengapa? karena masukan, komentar, kritik, persetujuan, dll, yang disampaikan masyarakat hanya diketahui oleh admin Kemdikbudristek, dan bersifat “tertutup” dan “searah”. Publik luas sama sekali tidak mengetahui apa pun perihal pendapat publik tentang RUU Sisdiknas.
Selain itu, penyusunan RUU Sisdiknas juga tidak didahului dan dilengkapi dengan peta jalan atau grand design sistem pendidikan nasional seharusnya menjadi konsep awal yang penting dirumuskan sebelum merancang perangkat peraturan atau undang-undangnya.
Selain itu, identitas para perancangnya sampai sekarang belum pernah dirilis oleh Kemendikbudristek, dan belum diketahui oleh publik.
RUU Sisdiknas dianggap diskriminatif terhadap guru berdasarkan statusnya, dan tidak peka terhadap isu kesejahteraan guru, dengan tidak adanya pasal dan ayat terkait dengan Tunjangan Profesi Guru (TPG), seperti disuarakan oleh sejumlah organisasi guru/pendidik.
Walaupun terhadap isu ini, pihak Kemdikbudristek telah melakukan beberapa kali penjelasan dan memperlihatkan komitmennya untuk meningkatkan kesejahteraan guru melalui RUU Sisdiknas. Seperti disampaikan melalui laman https://sisdiknas.kemdikbud.go.id/
Peran Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) juga tidak disebutkan secara jelas dalam penyelenggaraan pendidikan nasional.
Walapun akhirnya dimasukkan dalam RUU Sisdiknas versi Agustus 2022, “madrasah” dan “pondok pesantren” sempat tak dicantumkan juga sebagai satuan pendidikan, dan menuai polemik dan kritik keras di ruang publik.
Demikian pula dengan Sistem Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh (PTJJ), hingga versi terakhir yang diajukan ke DPR RI, sama sekali tidak menyebutkan dan menjelaskan secara eksplisit di dalam norma-norma batang tubuh RUU Sisdiknas (Farisi, 2022).
Publik tentu mafhum, bahwa Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) telah menjadi bagian integral yang tak terpisahkan dalam pembaharuan konstruksi sistem pendidikan nasional sejak UU 20/2003.
Di dalam UU tersebut, PJJ disebutkan pada Ketentuan Umum pasal 1 ayat (15); pasal 13 ayat (2); pasal 31 ayat (1—4); pasal 67 ayat (4), yang mencakup definisi, modus, jalur, jenjang, jenis penyelenggaraan, bentuk, cakupan, sarana dan layanan belajar, sistem penilaian; pidana (penjara dan denda) bagi penyelenggara yang tidak memenuhi syarat.
Di dalam UU 12/2012 juga disebutkan pada Bagian Ketujuh pasal 31 ayat (1—4) terkait dengan definisi, tujuan, penyelenggaraannya.