Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rully Raki
Dosen

Pemerhati Sosial dan Pembangunan

Sokrates dan Tantangan Profesi Guru Masa Kini

Kompas.com - 01/12/2022, 11:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Perkembangan sistem pendidikan masa kini, cukup dominan mendorong manusia menjadi homo faber (makhluk pekerja) yang terus bekerja tanpa bisa bertanya, menemukan jati diri dan bertumbuh secara seimbang.

Jika hal ini yang terjadi, maka manusia akan hidup dalam rutinitas sama. Manusia akan mereproduksi kegiatan yang sama dan jatuh ke dalam kehidupan satu dimensi seperti yang pernah dikatakan Herbert Marcuse (1964) sebagai Manusia Satu Dimensi.

Dalam kondisi seperti ini, agaknya memang cukup sulit dan rumit memastikan bahwa tiga aspek utama pendidikan versi Benjamin S. Bloom (1956), yakni kognitif, afektif, psikomotirik, terpenuhi secara proporsional dan seimbang.

Meskipun proses belajar dan mengajar dirancang dalam waktu yang agak lama, yakni dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Dikatakan demikian, sebab waktu untuk tiap orang untuk menemukan jati diri dan kebenaran atau menemukan arah kehidupan sehingga membuat orang puas dan bahagia, tidak selalu sama bagi semua orang.

Hal ini membuat peran para guru semakin runyam. Keruyamannya terdapat pada proses penyesuaian antara proses belajar, hasil pembelajaran, tuntutan kurikulum dengan fakta kondisi setiap peserta didik yang unik.

Keunikan itu tentunya muncul dari ragam latar belakang kehidupan dan keluarga mereka sampai dengan tujuan dan impian masing-masing.

Kondisi ini hampir pasti memunculkan ketiadaan limitasi proses pembelajaran, baik pada peserta didik ataupun bagi para guru sendiri.

Jika memang demikian, maka dalam setiap momen mengajar para peserta didik, para guru atau pengajar mesti bisa menggali dan memaksimalkan setiap potensi unik setiap peserta didik.

Dalam hal ini, diperlukan proses penggalian dan penemuan jati diri peserta didik, seperti yang pernah dipraktikan Sokrates melalui Maeutika Tekhne (metode kebidanan).

Seperti seorang bidan yang membantu pasien melahirkan, perlu ada cara-cara kreatif para pengajar sehingga bisa membantu para muridnya dapat melahirkan dan menemukan siapa diri mereka sendiri.

Hal ini dibuat dengan proses penilaian kemampuan, termasuk membuat mereka melihat kekurangan dan kelebihannya sehingga mampu merumuskan sendiri model manusia seperti apa yang ingin mereka capai nanti.

Mekanisme ini tentu akan membuat mereka bisa mengenal diri sendiri secara dekat. Dengan mengenal diri secara intensif, akan memaksimalkan skill dan kapasitas hidup mereka secara optimal sehingga hidup mereka akan berguna dan mereka sanggup merasa puas dan mencapai kebahagiaan.

Proses ini menjadi urgen, sebab di era post-modern ini, di mana hidup manusia disibukan dengan pekerjaan dan transformasi dunia, digitalisasi yang terus belari dan siap menabrak ke segala arah (A Runaway World) (Giddens, 2003), eksistensi dan aktus hidup manusia tidak bisa hanya dipatok pada soal perkembangan skill atau pengetahuan untuk melayani kepentingan dunia industri saja.

Sebab, segala keunikan, keinginan dan hasrat manusia tidak bisa dikurung dalam sebuah ruang atau dipagar untuk mengikuti jalur tuntutan kebutuhan dunia industri yang semakin mengglobal dan menjadi digital ini.

Fakta sudah membuktikan bahwa di negara-negara maju dengan sistem pendidikan yang ketat seperti di Jepang, tingkat stres dan bunuh diri yang dilakukan oleh anak-anak muda atau juga oleh para pekerjanya cukup tinggi (reuters.com).

Selain itu, peran guru dengan metode kebidanan ala Sokrates semakin penting, saat hari-hari belakangan ini, ketika digitalisasi telah memundahkan proses pembelajaran sekaligus mengkreasikan ruang kosong dengan potensi kemunculan problem pendidikan.

Ini terjadi akibat ketiadaan filter dan ketergantungan para peserta didik kepada alat-alat digital. Sebab, gadget dan jaringan digital hanya akan menyediakan big data pada para peserta didik tanpa memiliki filter atau penyaring.

Tidak ada penyaring untuk melihat sejauhmana data atau informasi itu bermanfaat dan kontekstual serta sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan masing-masing peserta didik baik secara fisik mauapun secara emosional.

Jika ini tidak terjadi, maka bagaimana mungkin para peserta didik menemukan jati dirinya, karena terlalu banyak informasi dan data yang masuk tanpa ada yang membantu dan mengarahkan mereka?

Oleh karena itu, mesin (peralatan digital) termasuk jejaring digital, tidak akan pernah bisa menggantikan peran guru. Hanya guru yang bisa mengarahkan dan membantu para peserta didik untuk menemukan jati diri dan potensi diri.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com