Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Anak-anak Penghayat di Solo Tak Terfasilitasi Pendidikan Kepercayaan...

Kompas.com - 24/09/2022, 12:51 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Albertus Adit

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com – Siang itu di pertengahan Agustus 2022, Nurjati Ganendra (8) terlihat lesu. Wajahnya murung. Ketika disapa, dia memalingkan muka.

Yakin sang anak memiliki masalah sepulang sekolah, Sri Purwaningsih (33) pun kemudian mendekatinya. Tapi Nendra, sapaan akrab Ganendra, tak mau langsung bercerita.

Sri enggan memaksa. Dia lalu mengadukan kondisi Nendra kepada suaminya, Tri Suseno (42) sehabis kerja.

Baca juga: Ditjen Kebudayaan: Penghayat Kepercayaan Jadi Pelestari Budaya Spiritual Borobudur

Baru setelah makan malam bersama, Sri dan Seno menyaksikan Nendra menangis. Ini terjadi setelah Seno bertanya kepada jagoannya itu mengapa muram seharian. Nendra akhirnya menceritakan masalahnya.

Dari situ, Sri dan Seno mendapati putranya meneteskan air mata karena sempat diminta memimpin doa saat mengikuti pelajaran Agama Kristen oleh sang guru.

Nendra sedih lantaran sebenarnya tak mau melakukannya, tapi tak kuasa untuk langsung bicara.

Malu dengan teman-teman di kelas

Dia mengaku tak bisa melafalkan dengan baik doa agama Kristen berupa runtutan kalimat dengan memohon kebaikan kepada Tuhan Yesus atau Bapa.

Nendra malu dengan teman-temannya di kelas yang tak tahu jika dia sebetulnya adalah penghayat Kepercayaan.

Sebagai anak penghayat Kepercayaan Sapta Darma, Nendra bagaimanapun tak familier dengan doa agama Kristen. Sebab, dia punya cara berdoa sendiri.

Baca juga: Kisah Penghayat Kepercayaan di Gunungkidul, Tak Lagi Susah Urus Administrasi Kependudukan

Dalam Kepercayaan Sapta Darma, Nendra saben hari diajarkan untuk melafalkan “Allah yang Maha Agung, Allah yang Maha Rahim, Allah yang Maha Adil” sebagai doa di berbagai kesempatan.

Ini termasuk ketika dia hendak atau selesai belajar.

“Intinya dia bingung, kenapa harus ikut pelajaran Agama Kristen dan belum tahu cara untuk menjelaskan ke teman-temanya kalau dia seorang penghayat,” ucap Seno saat menceritakan persoalan yang pernah dialami Nendra kepada Kompas.com, Sabtu (10/9/2022).

Nendra diketahui sehari-hari bersekolah di SDN Gambirsari, Banjarsari.

Seorang penghayat Kepercayaan Sapta Darma asal Kelurahan Nusukan, Banjarsari, Solo, Tri Suseno (42) bersama istri dan anaknya menjalankan ritual sembahyang Sujud di Sanggar Candi Busata (SCB) Cengklik, Minggu (11/9/2022). Seno berharap pemerintah bisa segera menyediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan di Kota Solo untuk mendampingi putranya yang selama ini terpaksa mengikuti pendidikan Agama.KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Seorang penghayat Kepercayaan Sapta Darma asal Kelurahan Nusukan, Banjarsari, Solo, Tri Suseno (42) bersama istri dan anaknya menjalankan ritual sembahyang Sujud di Sanggar Candi Busata (SCB) Cengklik, Minggu (11/9/2022). Seno berharap pemerintah bisa segera menyediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan di Kota Solo untuk mendampingi putranya yang selama ini terpaksa mengikuti pendidikan Agama.

Menurut Seno, anaknya sudah dua tahun ini terpaksa mengikuti pelajaran agama karena pihak sekolah tak bisa menyediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Seno memastikan bahwa sejak awal Nendra masuk sekolah dasar (SD) pada 2019, dirinya telah meminta kepada sekolah untuk dapat memenuhi hak pendidikan anaknya sebagai penghayat Kepercayaan.

Baca juga: Keluarga Penghayat Kepercayaan di Gunungkidul Lega Akhirnya Pernikahannya Diakui Negara

Sekolah memberi kebebasan pada siswa dan orangtua

Pada mulanya, Nendra memang sempat terlayani sebagai siswa penghayat Kepercayaan saat duduk di kelas 1. Tetapi, pada praktiknya, Seno dan sang istri lah yang saat itu dipersilakan jadi guru.

Mereka termasuk diminta untuk membikin soal-soal ujian sebagai syarat kenaikan kelas Nendra.

Karena merasa tak terfasilitasi seperti keluarga siswa lain, Seno sempat mengusulkan lagi kepada pihak sekolah untuk mengadakan guru Pendidikan Kepercayaan ketika Nendra hendak naik ke kelas 2.

Namun, pengelola sekolah saat itu tak bisa juga merealisasikan harapannya.

Sekolah tak punya solusi selain meminta kepada Seno atau Sri untuk menjadi guru atau mencari sendiri orang lain yang bisa menjalankan tugas itu jika ingin Nendra menerima Pendidikan Kepercayaan.

Dengan berbagai pertimbangan dan keterbatasan, Seno yang sehari-hari bekerja sebagai guru matematika di sebuah SMP itu akhirnya pasrah membolehkan Nendra ikut pelajaran Agama pada kelas 2.

Baca juga: Mengusulkan Pendidikan Kepercayaan pada RUU Sisdiknas

Dalam prosesnya, dia lebih dulu diminta untuk membuat surat pernyataan memberi izin putranya mengikuti Pendidikan Agama dari sekolah.

Tak mau membebani sang anak, Seno membebaskan kepada Nendra untuk memilih pelajaran agama mana yang dirasa paling nyaman.

Nendra sempat mengikuti Pendidikan Agama Hindu sebelum pindah ke Agama Kristen sekarang.

Berharap pemerintah sediakan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan

Dengan kejadian yang dialami anaknya belum lama ini, warga RT 002/RW 020 Kelurahan Nusukan, Banjarsari itu sangat berharap pihak sekolah atau Pemerintah Kota (Pemkot) Solo bisa benar-benar mengupayakan penyediaan tenaga penyuluh Pendidikan Kepercayaan sesegera mungkin.

Seno menyampaikan pemenuhan hak pelajar penghayat Kepercayaan padahal sudah diatur sejak 2016.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Anies Baswedan saat itu mengesahkan Permendikbud No. 27 Tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan.

Permendikbud tersebut mengatur pemenuhan hak pelajar penghayat kepercayaan mendapat pendidikan sesuai keyakinan yang dianutnya, alih-alih dipaksa mengikuti pelajaran salah satu agama.

Baca juga: Cerita Para Pengajar Penghayat Kepercayaan, Mengajar Tanpa Bayaran: Paling Utama Regenerasi

Pasalnya, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berbeda dengan enam agama yang diakui pemerintah Indonesia.

Maka dari itu, pendidikan spiritualitas dan budi pekerti yang didapat para pelajar penghayat Kepercayaan sudah sewajarnya berbeda.

Menurut Permendikbud Nomor 27 Tahun 2016, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pernyataan dan pelaksanaan hubungan pribadi dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan dengan perilaku ketakwaan dan peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa serta pengamalan budi luhur yang ajarannya berasal dari kearifan lokal bangsa Indonesia.

Jadi kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa berasal dari keyakinan yang diwariskan para leluhur berbagai suku bangsa di Indonesia.

Dengan ini, penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa didefinisikan sebagai setiap orang yang mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Sedangkan pelajar penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah peserta didik pada pendidikan formal jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan kesetaraan yang menyatakan dirinya sebagai penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Seno menuturkan bisa jadi Nendra saat ini adalah satu-satunya siswa di Solo yang memiliki identitas sebagai penghayat Kepercayaan. Jika pun ada yang lainnya, jumlahnya diyakini sangat sedikit.

Padahal dia melihat ada banyak penghayat lain yang juga memiliki anak usia sekolah. Di paguyuban Sapta Darma di Solo sendiri, setahu dia, ada 17 keluarga yang memiliki anak usia sekolah.

Ini berarti jumlahnya bisa lebih banyak jika dihitung dengan keberadaan penghayat Kepercayaan dari paguyuban lain.

Baca juga: Sebanyak 160 Ribu Warga Cantumkan Identitas Penghayat Kepercayaan di KTP

Dia meyakini belum terpenuhinya hak pendidikan bagi pelajar penghayat Kepercayaan di Solo turut menjadi penyebab para orang tua penghayat di Kota Bengawan selama ini enggan mencantumkan identitas sang anak sebagai penghayat.

Di mana, kata Seno, para orang tua bisa jadi khawatir ketika anak-anak tertulis sebagai penghayat Kepercayaan, hak-hak mereka justru jadi tidak dipenuhi oleh negara.

Seno merasa situasi ini sungguh merugikan para penghayat Kepercayaan. Lebih jauh, hal itu dikhawatirkan dapat mengikis eksistensi atau keberadaan penghayat Kepercayaan yang juga berperan menjadi pelestari nilai-nilai budaya luhur yang dianut oleh nenek moyang bangsa Indonesia.

“Kepada Pemkot, di sini ada warga penghayat. Meskipun sangat minoritas, mohon kami bisa terlayani juga. Untuk saat ini, mungkin baru anak saya yang menjadi pelajar penghayat. Meski cuma ada satu siswa, mohon bisa diupayakan pemenuhan hak pendidikannya karena itu adalah hak dasar bagi anak-anak,” ucap Seno ketika ditemui di Sanggar Candi Busana (SCB) Cengklik, Nusukan.

Dia pun yakin jika Nendra sudah terpenuhi hak pendidikannya, akan ada lebih banyak orang tua penghayat Kepercayaan lain yang mau membuka diri kepada masyarakat.

“Mungkin kalau keluarga saya sudah terfasilitasi, mereka baru ikut bergabung mengurus perubahan identitas anak sebagai penghayat. Yang ada sekarang kan mereka mungkin berpikir, ‘Ah mas Seno saja sudah bacut ngene (anak ber-KTP penghayat), Nendra ae masih dilayani dengan (Pendidikan) Agama. Pada wae’. Jadi teman-teman penghayat kurang percaya diri, kurang bersemangat. Berpikirnya jadi mengurus KTP Kepercayaan malah bikin repot,” ungkap dia.

Baca juga: Wapres Kalla Ingatkan agar Hak Kependudukan Penghayat Kepercayaan Tak Dihalangi

Dialami penghayat Kepercayaan yang lain

Keluhan Seno dirasakan juga oleh Sumarno (48), seorang penghayat Kepercayaan Sapta Darma asal RT 001/RW 005 Kelurahan Timuran, Banjarsari.

Tahu sang anak tak akan terfasilitasi guru khusus Pendidikan Kepercayaan di sekolah, lima tahun lalu dia terpaksa memutuskan untuk mengubah identitas Kepercayaan buah hatinya menjadi beragama Katolik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com