Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antonius Ferry Timur
Konsultan

Konsultan dan pemerhati pendidikan dasar, Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta

Kurikulum Merdeka, Kurikulum Beridentitas Kerakyatan?

Kompas.com - 25/08/2022, 12:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BAGI kalangan dunia pendidikan, pembicaraan mengenai pergantian kurikulum nasional menjadi sesuatu yang menarik. Kurikulum memang bukan satu-satunya penentu mutu pendidikan. Kurikulum juga bukan perangkat tunggal penjabaran visi pendidikan.

Meski demikian, kurikulum menjadi perangkat strategis untuk menyemaikan kepentingan dan membentuk konsepsi dan perilaku individu warga.

Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, pada rentang waktu tahun 1945-1949, dikeluarkan Kurikulum 1947. Tahun 1950-1961, ditetapkan Kurikulum 1952. Kurikulum terakhir pada masa Orde Lama adalah Kurikulum 1964.

Masa Orde Baru lahir empat kurikulum. Kurikulum 1968 ditetapkan dan berlaku sampai tahun 1975. Selanjutnya muncul Kurikulum 1975.

Baca juga: Kemendikbud: 20 Tahun Terakhir, Kurikulum Sekolah Fokus pada Materi Saja

Tahun 1984 dibuat kurikulum baru dengan nama Kurikulum 1975 yang Disempurnakan dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Pada 1994 dikeluarkan kurikulum baru, yakni Kurikulum 1994. Kurikulum itu menjadi kurikulum terakhir yang dikeluarkan rezim Orde Baru.

Pada era Reformasi muncul Kurikulum 2004 yang dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang pada tahun 2006 dilengkapi dengan Standar Isi dan Standar Kompetensi (Sisko) yang memandu sekolah menyusun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Selanjutnya, KTSP diganti dengan Kurikulum 2013. Kini Kemendikbudristek mulai menguji coba kurikulum baru, yaitu Kurikulum Merdeka.

Jika dicermati, penyusunan kurikulum yang silih berganti di Indonesia itu menunjukkan betapa kekuasaan yang berlaku menancapkan kukunya dalam penentuan isi kurikulum.

Menurut Bourdieu, setiap tindakan pedagogis yang bertujuan untuk mereproduksi kebudayaan dapat disebut kekerasan simbolis yang sah. Kekuatan kekerasan ini berasal dari hubungan kekuasaan sesungguhnya yang disembunyikan oleh kekuatan pedagogis.

Kurikulum yang berlaku dalam suatu negara, termasuk Indonesia, sering digunakan sebagai sarana indoktrinasi dari suatu sistem kekuasaan. Umumnya para pendidik dan masyarakat luas tidak menyadari apa sebenarnya peranan kurikulum di dalam proses pembelajaran peserta didik.

Dunia pendidikan memang sering kali menganggap bahwa kurikulum adalah soal teknis belaka. Namun, sebenarnya, berbicara tentang kurikulum adalah berbicara tentang sumber-sumber kekuasaan dalam dunia pendidikan.

Kurikulum adalah program dan isi dari suatu sistem pendidikan yang berupaya melaksanakan proses akumulasi ilmu pengetahuan antar-generasi dalam suatu masyarakat.

Dalam sebuah masyarakat yang homogen, masalah kurikulum tidak terlalu merisaukan. Namun dilihat dari konteks masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, kurikulum adalah pertarungan antar-kekuasaan yang hidup dalam suatu masyarakat.

Kelompok masyarakat yang dominan akan mempertahankan kurikulum untuk mempertahankan dominasinya melalui sistem persekolahan.

Sampai sejauh ini pendidikan di Indonesia menggunakan satu kurikulum, yaitu Kurikulum Nasional yang dipakai sebagai acuan tunggal. Semua lembaga pendidikan formal di negeri ini, baik di kota besar, pelosok, gunung, maupun di pinggir pantai, punya kurikulum yang sama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com