Oleh: Julyarno Chandra, Cyindy Mulapoa, Andini Dwininta Erlaningtyas (Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara) | Denrich Suryadi M.Psi., Psikolog (Dosen S1 Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara)
KOMPAS.com - Di Indonesia pemahaman mengenai kesehatan mental masih sangat minim. Pemahaman masyarakat tentang kesehatan mental umumnya sebatas pada kejadian mistis masih dianggap hal tabu atau belum menjadi prioritas utama, bahkan dianggap sebagai suatu fasilitas yang sulit diperoleh.
Pemahaman ini banyak berlaku pada banyak orangtua yang belum pernah tersentuh dengan edukasi mengenai kesehatan mental.
Baca juga: Ada Residu Pestisida di Mi Instan? Begini Penjelasan Ahli Gizi Unair
Banyak masyarakat generasi tua masih beranggapan, bahwa orang yang memiliki gangguan pada kesehatan mental hanya kurang berdoa atau karena mengalami kesurupan, sehingga kesehatan mental itu dianggap tidak ada dan tidak penting.
Meskipun saat ini kesadaran tentang kesehatan mental semakin meningkat khususnya di daerah perkotaan, tapi di daerah pedesaan, fasilitas kesehatan mental masih belum menjangkau kebutuhan masyarakat akan jaminan kesehatan pada aspek psikologis.
Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Risekda) pada tahun 2018, sebanyak 19 juta penduduk yang berumur 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional.
Selain itu, data dari Litbangkes pada 2016 mendapati data bunuh diri setiap tahunnya sebanyak 1.800 orang, an 47,7 persen orang yang melakukan tindakan bunuh diri pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.
Menurut World Health Organization (WHO), individu yang dikategorikan sebagai remaja adalah mereka yang berusia 10-19 tahun.
Masa remaja yang merupakan suatu fase peralihan dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa, sehingga remaja akan merasakan banyaknya perubahan yang terjadi dalam hidupnya dalam berbagai aspek, seperti aspek kognitif, emosional, sosial, dan moral.
Perubahan yang terjadi pada masa remaja ini tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan psikologis remaja.
Remaja yang dapat beradaptasi dengan baik terhadap perubahan yang terjadi akan mampu menumbuhkan emosi positif dalam diri dan merasakan kepuasan dalam hidupnya.
Baca juga: UGM Terima 4.200 Mahasiswa Jalur CBT-UM
Tantangan pada remaja yang tinggal di pedesaan akan menjadi lebih kompleks, karena minimnya fasilitas dan sarana pendidikan, masalah sosial budaya dan ekonomi, serta kurang terpenuhinya fasilitas kesehatan secara psikologis yang harus diakses pada fasiltas pelayanan kesehatan di tingkat provinsi.
Ada beberapa hal yang perlu dipenuhi oleh remaja di area pedesaan, agar dapat memiliki kesejahteraan psikologis.
Pertama, penerimaan diri (self-acceptance), yaitu kemampuan remaja untuk menerima diri dari masa lalunya, kekurangan, dan kelebihannya.
Dalam komponen ini, pelayanan psikologis minimal di lingkungan sekolah atau puskesmas melalui guru Bimbingan Konseling (BK) dan konselor dapat membantu menyadarkan remaja untuk menggali potensi yang mereka miliki, sehingga remaja dapat menerima diri mereka secara utuh.