Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

KKN di Desa Penari Viral, Dosen Ukrida: Harusnya Ikonik dengan Budaya Hindu Blambangan

Kompas.com - 01/07/2022, 17:04 WIB
Inang Sh ,
A P Sari

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Dalam beberapa bulan ini, film KKN di Desa Penari mencuri perhatian masyarakat dengan jumlah penonton lebih dari 9 juta.

Film ini diangkat dari utas cerita horor di Twitter yang viral pada 2019. Cerita ini berkutat pada sekelompok mahasiswa yang menjalani kuliah kerja nyata (KKN) di Desa Penari dan mengalami berbagai pengalaman mistis.

Meski mampu menjaring penonton yang begitu besar, film ini mendapatkan respons beragam dari masyarakat hingga kritikus.

Dosen Program Studi Sastra Inggris Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) Emanuella Christine Natalia Mau mengatakan, film layaknya sebuah koin bermata ganda, karena sifatnya yang mendidik sekaligus menjadi alat kapitalisme.

“Film adalah alat untuk mempercepat perputaran uang, seperti yang telah lama disadari Negeri Paman Sam ketika menjadikan film sebagai salah satu pusat industri penarik devisa,” katanya dalam siaran pers, Jumat (1/7/2022).

Baca juga: KKN di Desa Penari Tembus 9 Juta Penonton, Tissa Biani: Bersyukur Banyak Peminatnya

Lambat tetapi pasti, lanjutnya, negara lain menyadari bahwa film adalah mesin pengolah uang nomor wahid. Hal ini terbukti dari maraknya persaingan antara Hollywood, Bollywood, dan drama Korea (drakor).

“Lalu pertanyaan, seharusnya bagaimanakah kapitalis ikut mendidik bangsa? Bung Karno dalam pidatonya secara tersirat kembali menyinggung peran kapitalis sebagai bagian dari masyarakat,” ujarnya.

Dia menjelaskan, dengan semua kecanggihan teknologi dan pengetahuan yang ada, semestinya kapitalis mampu menyumbang pendidikan kepada masyarakat.

Menurutnya, hal tersebut juga erat kaitannya dengan kemampuan literasi media masyarakat Indonesia.

Sebab, masyarakat Indonesia diharapkan memiliki art sense yang tinggi sehingga dapat menyaring tontonan yang berbobot dengan mengesampingkan fakta apakah filmnya viral atau tidak.

Baca juga: Manoj Punjabi Rencanakan Ekspansi Film KKN di Desa Penari ke Negara-negara Asia Tenggara

Emanuella juga menilai, masyarakat seperti yang diharapkan tersebut tidak akan terjadi apabila kapitalis sebagai insan film tidak tergugah menyelipkan sepotong pengetahuan dalam film-film garapannya.

“Dengan alasan yang sama, KKN di Desa Penari seharusnya ikonik dengan kebudayaan Hindu Blambangan yang unik serta representasi dari kejawen dalam seni tarinya namun menjadi kurang greget walaupun viral,” katanya.

Dia menyebutkan, tanggung jawab insan film seharusnya berlipat ganda ketika filmnya viral. Sebab, film yang viral memiliki tuntutan untuk memberikan pengetahuan kepada audiens sebagai wujud budaya dan apresiasi terhadap nilai uang yang ditukar.

Apabila hal tersebut tidak terjadi, kata Emanuella, maka masyarakat Indonesia tidak akan mampu berlanjut dari masyarakat yang mengetahui karya seni menjadi masyarakat yang bercita rasa seni.

Fungsi otokritik dalam film

Emanuella menambahkan, film juga mengandung fungsi otokritik ketika pengetahuan tentang seni yang beredar berlawanan dengan maksud dari penulis naskah, pembuat film, maupun masyarakat pada umumnya.

Baca juga: Kritik Tompi terhadap Film Indonesia: Penulis Naskah Harus Lakukan Riset

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com