Oleh: Bonar Hutapea
ADA hal yang sangat menarik dalam seminar internal bertema “teknologi digital dan keluarga” yang diselenggarakan HKBP Kemang Pratama, Bekasi, dan didukung Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Tarumanagara sebagai bagian dari pengabdian kepada masyarakat pada 30 April 2022 lalu.
Para pria, bapak-bapak yang terhitung jauh lebih banyak jumlahnya, tampak sangat antusias selama acara berlangsung.
Bahkan, karenanya, acara yang sedianya berakhir pukul 12.00 WIB menjadi pukul 14.30 WIB.
Pertanyaan-pertanyaan kritis dan tajam disertai curhatan serta berbagi pengalaman mewarnai sebagian besar waktu tersebut.
Pengasuhan digital dan mediasi digital: Pekerjaan baru ibu?
Dalam kehidupan sehari-hari, sudah sangat biasa terdengar para orangtua mengeluhkan penggunaan yang berlebihan dan mencemaskan dampak negatif teknologi digital terutama gawai (gadget) dan internet pada anak-anak dan remaja (Salazar & Moran, 2019) terutama media sosial (Adit, 2021; Kompas.com, 28 Mei 2021), adiksi internet (Prastiwi, 2021; Kompas.com, 29 Desember 2021) yang sama buruknya dengan kecanduan Napza (Napitupulu, 2021; Kompas, 02 Oktober 2021) termasuk dalam masa pandemi Covid-19 (Arlinta, 2020; Kompas, 05 Agustus 2020) yang harus dicegah sebelum semakin mengkhawatirkan (Purnamasari, 2020; Kompas.com, 19 Juni 2020).
Namun orangtua dimaksud lazimnya adalah para ibu. Mengapa ibu? Umumnya dalam kehidupan sehari-hari, sejak dulu, ayah memang kurang terlibat dalam pengasuhan anak.
Sebaliknya, ibu yang mengambil lebih banyak tanggung jawab mengasuh anak dan menghabiskan waktunya dengan anak-anak.
Berbagai penelitian, sejauh ini, juga menemukan hal yang relevan dengan itu, antara lain: terdapat perbedaan dalam gaya pengasuhan dan komunikasi antara ayah dan ibu, karenanya menjadi berbeda pula pengasuhan terkait penggunaan teknologi digital.
Dalam gaya pengasuhan terkait internet, dibandingkan ayah, ibu lebih banyak menunjukkan kehangatan dalam hal dukungan dan lebih terbuka.
Para ibu lebih terlibat, sedangkan ayah cenderung tidak mengawasi penggunaan media anaknya.
Penilaian tentang pengalaman daring (online) anak juga berbeda. Ibu cenderung membuat penilaian yang lebih baik selain tingkat pengetahuan tentang frekuensi penggunaan internet yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayah.
Hal ini dapat dipahami dari kenyataan bahwa ibu tampak lebih terlibat dalam perilaku terkait media dan internet anak-anaknya.
Peneliti umumnya mendapatkan informasi tentang pengetahuan orangtua perihal penggunaan teknologi digital dan internet anak sebagian besar berasal dari laporan ibu yang pengetahuannya memang cenderung lebih tinggi dari pada ayah.