Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
KILAS

Guru Besar UPI: Keterlibatan Perempuan dalam Olahraga Masih Terganjal Persepsi Masyarakat

Kompas.com - 27/05/2022, 12:20 WIB
Inang Sh ,
Mikhael Gewati

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Masyarakat Indonesia merasakan haru ketika pasangan ganda putri Greysia Polii dan Apriyani Rahayu meraih medali emas dalam ajang Olimpiade Tokyo 2020 untuk cabang olahraga badminton.

Raihan medali emas tersebut merupakan yang pertama kali bagi disiplin ganda putri Indonesia. Sektor ini sering tidak dijagokan mengingat susahnya proses regenerasi untuk sektor ganda putri.

Kondisi serupa pernah diungkapkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga. Menurutnya, ada diskriminasi kepada para pelaku olahraga perempuan dan kesenjangan gender masih terjadi di Indonesia.

Melansir kemenpppa.go.id, Jumat (25/9/2020), Bintang menilai, kondisi tersebut menyebabkan akses dan kesempatan perempuan dalam bidang olahraga menjadi terhambat.

“Pelabelan dan konstruksi sosial yang menganggap perempuan lebih lemah daripada laki-laki baik secara mental maupun fisik menyebabkan diskriminasi bagi perempuan,” ujarnya.

Padahal, secara ilmiah alasan tersebut tidak terbukti. Bahkan, alasan ini juga digunakan untuk menghambat akses dan partisipasi perempuan dalam berbagai cabang olahraga.

Baca juga: Greysia Polii Beri Bonus Uang dan Motivasi untuk Tim Putri Indonesia

Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof. Dr. Nina Sutresna, M.Pd mengamini hal tersebut.

Dia menjelaskan, dalam konteks budaya timur, persepsi masyarakat terhadap kaum perempuan yang melibatkan diri dalam kegiatan olahraga masih terganjal kepercayaan.

Olahraga kerap dipandang sebagai dunianya kaum laki-laki,” katanya saat menyampaikan pidato “Wanita dan Olahraga dalam Kacamata Sosiologi” dalam acara Pengukuhan Guru Besar UPI Bidang Sosiologi Olahraga, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan di Kampus UPI, Rabu (18/5/2022).

Nina menjelaskan, pemahaman masyarakat tentang kaum perempuan dan olahraga cukup beralasan, terutama jika dikaitkan dengan tolehan sejarah masa lampau.

Dalam konteks pengistilahan, masih ada pendefinisian tentang perempuan atau wanita yang dimaknai sebagai mahluk yang “wani ditoto” atau perempuan dalam pandangan zoemulder dimaknai sebagai makhluk “yang diinginkan”.

Baca juga: 5 Perempuan Atlet Dunia Pendobrak Hambatan Gender

Dari sudut pandang feminis, istilah perempuan merupakan pelabelan jejak-jejak peninggalan kultur patriarki yang tertinggal dalam tatanan bahasa indonesia, yakni perempuan diukur lewat seberapa setianya kepada lawan jenis.

Nina menyebutkan, perempuan dinilai tinggi ketika bisa mengabdi kepada suami sehingga menjadi diinginkan lelaki. Bahkan, kesetiaan jadi lebih baik dari kemandirian.

“Makna tersebut berimplikasi pada persepsi masyarakat tentang kaum perempuan, terutama ketika dikaitkan dengan upaya menggali potensi untuk meraih prestasi dalam olahraga yang membutuhkan keperkasaan, kekuatan, dan kemandirian,” terangnya.

Dia menambahkan, dalam pandangan masyarakat Sunda terdapat mitos “awewe dulang tinande” atau sosok perempuan sunda yang diposisikan harus “lungguh timpuh emok andalemi”.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com