Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Ibu Bunuh Anak, Akademisi IPB: Ini 6 Faktor Penyebabnya

Kompas.com - 25/03/2022, 13:07 WIB
Albertus Adit

Penulis

KOMPAS.com - Tak hanya menyebabkan perekonomian suatu keluarga anjlog, tetapi pandemi Covid-19 juga memperparah depresi seseorang. Hingga terjadi tindakan anarkis.

Bahkan tindakan anarkis berujung pembunuhan itu dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Tak heran jika nyawa menjadi taruhannya.

Seperti kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang tua kandung. Contohnya kasus MT (30), seorang ibu yang tega menganiaya dan menghabisi ketiga orang anak kandungnya di Nias.

Baca juga: Ibu Bunuh Anak di Brebes Idap Gangguan Jiwa? Ini Kata Pakar UM Surabaya

Atau baru-baru ini, yakni KU (35), seorang ibu yang tega menganiaya dan coba menghabisi nyawa tiga anaknya sendiri dengan pisau kater, di Brebes (20/3/2022).

Terkait kasus ibu bunuh anak, Dr. Yulina Eva Riany, dosen Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, IPB University memberikan penjelasan.

Menurutnya, setidaknya terdapat beberapa faktor penyebab internal dan eksternal dari seorang individu yang mendorongnya melakukan tindakan anarkis tersebut.

6 faktor penyebab kekerasan

1. Tekanan jiwa dan kesepian

Penyebab pertama adalah adanya tekanan jiwa dan rasa kesepian luar biasa atau loneliness, karena kurangnya interaksi.

"Pelaku seringkali menganggap dirinya hidup sendiri dan tidak ada orang yang peduli terhadap dirinya dan kesulitan yang dihadapinya," ujarnya dikutip dari laman IPB University, Kamis (24/3/2022).

Dr. Yulina juga mengatakan bahwa hal tersebut dapat diperparah dengan kondisi pandemi yang membatasi interaksi antar individu. Sehingga, upaya mengakhiri hidupnya termasuk anak-anaknya merupakan jawaban.

Kasus KU merupakan bukti ketidakmampuannya dalam mengendalikan rasa ingin diperhatikan dan diapresiasi oleh sang suami yang dianggapnya sudah tidak peduli terhadapnya.

Baca juga: Akademisi UII: Begini Tips Mengatur Uang bagi Gen Z

2. Anggap anak sumber masalah

Sedang yang kedua ialah adanya perasaan bahwa kehadiran anak merupakan sumber masalah bagi keluarga. Sehingga, upaya mengakhiri nyawa sering dipilih dengan anggapan bahwa kematian anak dapat meringankan beban keluarga.

Alasan ini seringkali ditemukan pada individu yang tidak sanggup dalam menghadapi kesulitan hidup kemudian mengambil langkah pendek melalui tindak anarki.

3. Anggapan kematian bisa terhindar dari kesakitan

Ketiga ialah ketidaksanggupan untuk menyaksikan anak-anak menghadapi kesakitan dan kesusahan. Pengalaman menyakitkan sepanjang hidup dapat memicu matinya rasa takut akan rasa sakit dan kematian.

Sehingga pelaku menganggap bahwa dengan kematian, anak-anak dapat terhindarkan dari kesakitan dan kesusahan di kemudian hari.

4. Kondisi sosial ekonomi keluarga

Kondisi sosial-ekonomi keluarga, interaksi sosial dan kontrol sosial masyarakat dinilai sebagai faktor eksternal. Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas tindak kekerasan terhadap anak terjadi pada keluarga dengan kondisi sosial-ekonomi yang rendah.

Baca juga: Akademisi UAD: Ini Pentingnya PHBS di Masa Pandemi

Hal ini terjadi karena tekanan sosial-ekonomi (terlilit hutang, rendahnya kemampuan ekonomi dan lain-lain) menjadi penyebab tingginya tingkat stres pada orang tua yang memicu amarah.

5. Tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19

Penelitian juga menunjukkan adanya keterkaitan yang signifikan antara tekanan ekonomi dengan tingkat depresi orang tua selama pandemi Covid-19. Tekanan ekonomi, dalam banyak kasus, menyebabkan risiko stres, kecemasan, insomnia dan konflik antara anggota keluarga.

"Hal ini meningkatkan angka kekerasan dalam keluarga, bunuh diri, penganiayaan bahkan pembunuhan anak," jelasnya.

6. Hukuman fisik di keluarga

Adanya kebiasaan memberlakukan hukuman fisik dalam keluarga juga jadi salah satu penyebab. Sebagian masyarakat masih menerima, meyakini serta menerapkan hukuman fisik sebagai metode ampuh dalam membentuk karakter baik pada anak.

"Padahal hal tersebut tidak hanya dapat membahayakan fisik anak, namun juga dapat menyisakan trauma berkepanjangan dan mengganggu perkembangan anak," terangnya.

Dr. Yulina yang juga Ketua Divisi Penelitian Pusat Pengembangan Sumber Daya manusia (P2SDM), Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB University ini juga memberikan penjelasan lain.

Baca juga: Mahasiswa UNY Inovasi Pupuk Alami untuk Tabulampot dari Limbah Ini

Yakni kebiasaan untuk mendisiplinkan anak dengan memukul, mencubit, menendang ataupun aksi fisik lainnya, dapat mengakibatkan orang tua mudah terlarut dalam luapan emosi.

Sehingga tanpa disadari, secara tidak sengaja tega melakukan tindakan anarki selama kebutuhan untuk memuaskan amarahnya terpenuhi.

Ini yang kemudian mendorong kepada kekhilafan dan tidak mengindahkan aturan sosial mengenai asas kepatutan perilaku dalam masyarakat.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com