Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dosen UII Sebut Konflik Ukraina-Rusia Bagian dari Sisa Perang Dingin

Kompas.com - 28/02/2022, 07:00 WIB
Mahar Prastiwi

Penulis

KOMPAS.com - Sejak Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan operasi militer terhadap Ukrania sejak Kamis (24/2/2022), hingga saat ini ketegangan masih terus terjadi.

Perang antara kedua negara ini sangat disayangkan banyak pihak. Pasalnya tak sedikit warga sipil yang meninggal akibat perang ini.

Perang Rusia-Ukraina ini juga ditanggapi oleh Dosen Studi Keamanan Internasional Program Studi Hubungan Internasional (HI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Irawan Jati,.

Irawan mengungkapkan, konflik antara Ukraina dan Rusia bukan merupakan konflik baru dan menjadi bagian dari sisa-sisa perang dingin yang masih bertahan hingga saat ini. Meskipun beberapa pihak menyatakan perang dingin sudah lama selesai sejak runtuhnya tembok Berlin dan bubarnya Uni Soviet.

Baca juga: Kisah Mahasiswa Unesa, dari Hobi Desain Jadi Prestasi dan Dapat Cuan

Penyelesaian konflik melalui PBB belum bisa dilakukan

Irawan mengatakan, apa yang saat ini dilakukan Rusia bukan merupakan hal yang baru karena pernah terjadi di 2014 saat Rusia mencoba menganeksasi kembali dan mengklaim Ukraina sebagai bagian sah dari Rusia.

Rezky Utama menilai, penyelesaian konflik melalui PBB belum bisa dilakukan karena Rusia masih memiliki hak veto di United Nations Security Council (Dewan Keamanan PBB) yang bisa menghambat langkah-langkah penyelesaian konflik.

Ia berpendapat bahwa NATO dan EU harus turun tangan dan terlibat dalam perjanjian damai untuk menyelesaikan konflik kedua negara ini.

Sementara itu Dosen Studi Kawasan Eropa Program Studi HI UII Mohamad Rezky Utama menerangkan, situasi yang saat ini terjadi di Ukraina tidak terlepas dari ekspansi NATO yang mulai melebarkan pengaruh di Eropa Timur.

Rezky Utama menyatakan, ekspansi NATO ke Eropa Timur membahayakan Rusia karena hal ini berpotensi memindahkan rudal balistik yang awalnya ditempatkan di Rumania ke Ukraina. Kondisi ini berpotensi menjadi ancaman terbuka bagi Rusia.

Menurut Rezky Utama, sebelum 2014, Ukraina sangat dekat dengan Rusia dan menjadi buffer zone antara Rusia dan Eropa. Namun setelah revolusi 2014, pemerintah Ukraina berpindah haluan, dari sebelumnya dekat dengan Rusia beralih mendekati NATO.

Baca juga: Lowongan Kerja Bank BTN bagi Lulusan D3, Buruan Daftar

Rusia dinilai memaksimalkan potensi kelompok sparatis

Hal ini menyebabkan Belarusia menjadi satu-satunya buffer zone antara Rusia dan negara-negara Eropa. Invasi yang dilakukan oleh Putin, lanjut Rezky Utama, menjadi salah satu cara untuk mengembalikan Ukraina sebagai salah satu sekutu Rusia dengan mengganti rezim pemerintah Ukraina melalui dukungan kelompok sepratis di Donetsk, Luhan, dan Krimea.

Irawan Jati menambahkan, dukungan yang diberikan Rusia kepada kelompok separatis Ukraina tidak terlepas dari konsep the enemy of my enemy is my friend yang diadopsi Rusia.

"Rusia mencoba memaksimalkan potensi kelompok-kelompok sparatis untuk mempertahankan dan memperkuat kedudukan mereka di negara-negara tersebut," papar Irawan Jati.

Baca juga: Bank Muamalat Buka Lowongan Kerja bagi Lulusan SMA/SMK-D3, Yuk Daftar

Rezky Utama menyampaikan, hal yang sama juga pernah dilakukan Rusia dengan mendukung kelompok separatis Georgia setelah negara tersebut mulai memihak kepada Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Indikasi perang dunia ketiga masih terlalu jauh

Terkait indikasi konflik yang mengarah ke perang dunia ketiga, kedua dosen UII ini sepakat bahwa hal ini masih terlalu jauh melihat kondisi yang saat ini terjadi. Salah satu indikatornya adalah bantuan militer yang diberikan oleh negara-negara anggota NATO seperti Turki, Kanada dan Spanyol lebih bersifat bantuan individu alih-alih atas nama organisasi.

"Hal ini ditambah dengan pernyataan Joe Biden (Presiden Amerika Serikat) yang tidak akan mengirimkan bantuan militer ke Ukraina," tegas Irawan Jati.

Baca juga: Banyak Dibutuhkan, Intip Prospek Kerja Prodi Tata Kelola Air Terpadu

Rezky Utama menambahkan, faktor penghambat lainnya adalah Uni Eropa dan NATO yang cukup berhati-hati dalam mengambil langkah untuk menghindari perang dunia ketiga karena hal ini bisa menyebabkan Eropa menjadi teater perang dunia lagi.

"Ancaman sanksi ekonomi dan embargo untuk mendorong Rusia menghentikan perang tidak banyak berpengaruh karena Rusia merupakan suatu wilayah yang cukup sustain sehingga mereka masih bisa survive menghadapi embargo tersebut," ungkap Irawan Jati.

Irawan Jati memaparkan, kondisi yang terjadi di lapangan adalah Rusia yang menjadi pemasok utama gas untuk negara-negara di kawasan Eropa. Sehingga sanksi tersebut bisa berbalik merugikan negara-negara di kawasan Eropa.

Irawan Jati menilai pendekatan diplomasi dipandang menjadi salah satu solusi meskipun cukup bertele-tele.

Baca juga: Gempa di Pasaman Barat, Unand Kirim 3 Tim Bantu Penanganan Bencana

Hal ini disebabkan legitimasi militer negara-negara di sekitar Rusia belum cukup kuat. Sehingga apabila memaksakan penyelesaian konflik lewat cara militer malah akan mengarah pada invasi lebih besar.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com