Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Semesta Digital Metaverse Pendidikan di Indonesia

Kompas.com - 22/01/2022, 11:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HADIRNYA metaverse melahirkan berbagai tantangan dan peluang dalam dunia pendidikan.

Metaverse akan menciptakan pengalaman baru yang berbeda, ‘hyper interactive’ dengan tingkat engagement meningkat signifikan, 24/7, borderless dengan hadirnya ruang tidak terbatas, multi international engagement yang lebih lebar, aktif dan bebas.

Mengutip KBBI, meta berarti sebuah perubahan. Dalam bahasa Yunani kuno bermakna sesudah (after) dan melebihi (beyond).

Praktik metaverse dalam pendidikan berarti akan terjadi dan bahkan sudah terjadi ketika praktik transfer ilmu dilakukan tanpa mengenal batas ruang dan waktu.

Bayangkan hampir semua aktivitas fisik dan interaksi sosial (belajar, bermain, rapat, diskusi, belanja, bekerja hingga berkreasi) dapat dilakukan dalam dunia virtual dalam bentuk teleportasi instan dengan teknologi hologram.

Semua diwujudkan secara virtual melalui integrasi dari media sosial, virtual reality (VR), augmented reality (AI), cryptocurrency dan berbagai perangkat yang sedang hype saat ini.

Meskipun masih terdengar asing dan jauh dari implementasi dalam ruang lingkup perguruan tinggi, namun sudah seharusnya para pemimpin perguruan tinggi bersiap.

Misal, performa metaverse akan berjalan baik ketika proses transfer data berjalan lancar. Ini dapat terwujud dengan proses migrasi data yang besar, sehingga perlu dibangun dengan infrastruktur internet dan digital yang memadai.

Beberapa universitas di dunia mulai merancang lingkungan pendidikan digital.

Contohnya, Universitas Amman Arab di Yordania telah bekerja sama dengan perusahaan yang bergerak di bidang virtual reality untuk membuat perangkat khusus.

CEU University di Spanyol membangun prototipe kampus mereka untuk mendukung komunitas pembelajaran yang berbasis Minecraft Education Edition.

Proyek ini melibatkan 200 mahasiswa mereka. Khon Kaen University di Thailand meluncurkan proyek yang bernama Metaverse Experience.

Kehadiran metaverse menambah alasan bagi dunia pendidikan untuk semakin berkembang secara progresif.

Dengan semakin canggihnya internet, bukan tidak mungkin pendidikan akan berpindah dari dunia nyata ke dunia virtual.

Pasti kita belum pernah terbayang sebelumnya bagaimana 6-10 tahun dari sekarang aktivitas interaksi tatap muka dalam dunia pendidikan seperti orientasi mahasiswa baru, conference, tur kampus, ujian tengah/akhir semester, interview, hingga proses magang dapat berpindah ke dunia virtual metaverse.

Singkatnya, ada banyak potensi tak diketahui yang dimiliki metaverse yang bisa digali para stakeholder pendidikan.

Fleksibilitas dalam akses pembelajaran

Kita bisa melihat bahwa metaverse dapat juga menjadi level berikut dari dunia internet saat ini.

Bahkan Facebook mengatakan bahwa metaverse merupakan ‘next chapter of the internet.'

Pernyataan Facebook agaknya akurat karena dalam hal pembelajaran, teknologi metaverse menyediakan akses seluas-luasnya untuk belajar yang lebih fleksibel.

Metode belajar di mana saja dan kapan saja menjadi konsep menarik yang digandrungi banyak pihak. Waktu, ruang dan biaya dapat dipangkas dengan kehadiran teknologi.

Namun sebelum pandemi berlangsung, sebenarnya sudah muncul berbagai tanda bahwa pendidikan akan bergerak ke arah virtual education.

Misalnya di Amerika Serikat, salah satu temuan dari Babson Survey Research Group (2016) adalah ada satu pertiga murid (31,6 persen dari 6.359.121) yang mengambil satu kursus online.

Penelitian dari Cambridge International 2018, dikutip dari BBC, menemukan bahwa 62 persen siswa Indonesia menggunakan gadget di kelas dan 81 persen mengoptimalkan gadget untuk melakukan pekerjaan rumah.

Data di atas merupakan fenomena yang terjadi sebelum pandemi, di mana teknologi masih dalam proses penyesuaian untuk masuk ke dunia pendidikan.

Ketika pandemi Covid 19 terjadi, terdapat 1,6 miliar pelajar terdampak disrupsi pendidikan karena adopsi teknologi yang mendadak.

Jika dilihat dari sisi positifnya, maka disrupsi ini membuat pelajar bisa belajar kapanpun, dimanapun dan dengan siapapun.

Contohnya, berbagai perguruan tinggi sejak 2020 telah menjalin kerja sama dengan Coursera untuk menyediakan kelas online bagi mahasiswanya.

Bayangkan, pelajar mendapatkan akses ke materi berkualitas dari universitas ternama dengan pemateri kelas dunia.

Mereka mendapatkan akses ke 4.500 kelas bersertifikasi yang berdurasi sebesar 67.500 - 180.000 jam.

Di akhir kerja sama, bahkan mahasiswa dapat mengakses 6.579 kelas online dengan total jam belajar sebesar 20.142 jam.

Coursera hanya satu contoh penerapan pendidikan yang adaptif. Di Indonesia, platform seperti Ruangguru dan Zenius juga menciptakan iklim pendidikan digital yang kian menjanjikan.

Pada akhirnya, kita akan melihat teknologi akan menjadi salah satu inti dan kebutuhan primer dalam membangun peradaban pendidikan era digital.

Menurut Escueta et al (2020), secara kolektif teknologi menawarkan potensi yang besar untuk memperluas akses pendidikan, memfasilitasi komunikasi antar berbagai pihak, dan mengurangi friksi pendidikan dari anak usia dini hingga dewasa.

Dengan adanya metaverse, pendidikan akan dibawa ke level demokratisasi pengetahuan yang lebih tinggi.

Menurut Kwang Hyung Lee, Presiden Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST), dikutip dari Times Higher Education, perguruan tinggi yang dilengkapi dengan infrastruktur digital mumpuni dan sumber daya manusia yang cerdas akan menjadi pemimpin baru.

Pelajar di seluruh dunia bisa berkunjung ke berbagai perguruan tinggi yang mereka suka tanpa perlu membayar biaya perjalanan.

Mereka hanya tinggal melakukan log in ke dunia online dengan ID dan avatar masing-masing.

Mereka bisa berinteraksi dengan sesama mahasiswa dari luar negeri. Ada pertukaran budaya dan pola pikir yang terjadi secara kontinyu.

Oleh karena itu, dunia pendidikan sedang berusaha mencapai visi tersebut, termasuk Indonesia.

Pengembangan metaverse bisa membantu pendidikan di Indonesia yang tertinggal dari negara lain. Apalagi, kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dari negara lain.

Apabila metaverse berhasil dikembangkan dan dioptimalkan, bukan tidak mungkin pernyataan Presiden KAIST bisa terealisasi dalam waktu dekat.

Akan tetapi, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan.

Kesenjangan

Learning loss mungkin adalah istilah yang bisa menggambarkan dampak kesenjangan akses teknologi pendidikan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com