Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Metaverse, Pakar Unair Jelaskan Dampaknya

Kompas.com - 27/12/2021, 15:54 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Media baru Metaverse tengah hangat dibicarakan masyarakat di seluruh dunia termasuk di Indonesia. 

Bukan hanya soal kecanggihan teknologi dan klaim terhadap dunia masa depan, namun juga soal penerimaan masyarakat Indonesia terhadap media ini. Apalagi, setelah artis Indonesia Syahrini bergabung di Metaverse, melalui aksi Metaverse tour. 

Syahrini sempat menjual NFT hijabnya pada 14 Desember 2021. Lalu kini, siap menjual tiket konsernya. 

Terkait hal itu, Prof. Rachmah Ida selaku pakar kajian media asal Universitas Airlangga (Unair) memberikan pendapatnya. 

Baca juga: 7 Fakta tentang Nilai IQ Anak dan Faktor yang Memengaruhi Kecerdasan

Menurutnya, adopsi dari inovasi media ini memiliki penerimaan yang berbeda-beda secara segmen. Kalangan muda urban yang teknologi sebagai “the have”, memiliki resources ekonomi dan senang mencoba hal baru, akan menjadi pengadopsi inovasi awal atau disebut early adopter.

“Sesuai dengan teori difusi inovasi, kalangan yang tidak melek teknologi, terus mungkin juga tidak ada resources, dan masih menggunakan konsep gemeinschaft dan gesselschaft meskipun teknologi digital sudah maju, nantinya akan sulit untuk ikut serta dalam inovasi media ini,” jelas profesor bidang media studies pertama di Indonesia tersebut, dilansir dari laman Unair.

Namun, selain kesiapan masyarakat dalam menerima media ini, kesiapan infrastruktur juga menjadi faktor yang berperan penting.

“Untuk bisa mengakses Metaverse butuh transfer data yang banyak, sehingga membutuhkan infrastruktur internet yang baik,” jelasnya.

Baca juga: Belajar dari Orangtua Jepang Cara Menanamkan Disiplin pada Anak

Masuknya media baru, artinya menghadapi tantangan baru. Dalam dunia virtual reality Metaverse, pengguna akan disuguhi oleh berbagai fitur berbayar dan juga aksesori untuk mempercantik tampilan digital avatar.

Hal ini dianggap Ida sebagai hal yang memicu konsumerisme pada pengguna.

“Konsep semacam ini sebenarnya sudah diterapkan saat second life muncul, dan American Express menjadi kartu kredit yang digunakan untuk pembayaran objek virtual menggunakan uang yang nyata,” sebut dosen prodi Ilmu Komunikasi UNAIR itu.

Dalam novel science fiction berjudul “Snow Crash” yang menginspirasi terbentuknya dunia realitas digital, virtual reality menjadi medium untuk melarikan diri dari adanya perubahan iklim ekstrim, kekurangan air, dan bencana pada dunia nyata.

Metaverse sebagai perwujudan novel karangan Neal Stephenson tersebut, juga menjadi medium “melarikan diri” dari kenyataan, baik untuk ajang hiburan, ataupun mencari pengalaman baru di dunia yang baru.

Baca juga: Kuliah Gratis, Ini 11 Prodi S1 Militer Universitas Pertahanan dan Syarat

Meski menjadi inovasi yang positif dalam teknologi, pengguna dunia realitas digital juga harus berhati-hati.

“Selain pada fisik, gangguan juga bisa terjadi pada mental pengguna, yaitu saat menyaksikan dunia sesungguhnya merupakan hal yang jauh berbeda dengan yang ada di dalam dunia digital,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com