Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UGM: Banjir Bandang Bisa Terjadi Pasca Erupsi Gunung Semeru

Kompas.com - 06/12/2021, 17:39 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Pakar UGM, Danang Sri Hadmoko mengingatkan adanya bahaya sekunder atau bahaya tidak langsung yang diakibatkan dari erupsi Gunung Semeru.

Selain erupsi guguran awan panas yang terjadi pada 4 Desember 2021, terdapat potensi bahaya sekunder seperti banjir bandang yang membawa material vulkanik di daerah hulu.

Baca juga: UB: Mahasiswi NWR Pernah Laporkan Pelecehan Seksual di Januari 2020

"Erupsi selesai, potensi ancaman bencana masih ada. Bulan Desember, Januari, dan Februari kita perlu memperhatikan potensi aliran lahar dan juga erupsi susulan," ucap dia melansir laman UGM, Senin (6/12/2021).

Dia menerangkan, fenomena La Nina memunculkan potensi hujan tinggi sehingga masyarakat yang berada di area sungai yang berhulu di Gunung api Semeru perlu waspada.

Masyarakat juga harus menghindari aktivitas dalam radius bahaya yang sudah ditetapkan oleh otoritas setempat.

"Beberapa sungai yang berhulu di Semeru itu perlu diwaspadai, supaya ketika terjadi aliran lahar di bagian tengah dan hilir yang banyak pemukiman bisa terselamatkan," ucap Dosen Fakultas Geografi UGM ini.

Menurut dia, terdapat pula potensi material yang masih panas sehingga proses evakuasi perlu dilakukan dengan hati-hati dan melibatkan pihak-pihak yang memahami kondisi gunung api.

Warga di sekitar area erupsi dianjurkan untuk selalu menggunakan masker dan kacamata pelindung untuk menghindari bahaya kesehatan akibat abu vulkanik yang mempunyai kandungan silika dan berukuran mikro.

Pakar Geofisika UGM, Wahyudi menerangkan, sejak tahun 2012 sebenarnya Gunung Semeru telah dinyatakan memiliki status Level 2 atau Waspada.

Baca juga: Kemendikbud Ristek: Sekolah dan Kampus Tak Libur Selama Periode Nataru

Kemudian pada September 2020 mulai teramati aktivitas berupa kepulan asap putih dan abu-abu setinggi 200-700 m di puncak Semeru.

Aktivitas serupa berlanjut di Oktober 2020 setinggi 200-1000 m, dan pada 1 Desember 2020 terjadi awan panas sepanjang 2-11 km ke arah Kobokan di lereng tenggara.

Pada 90 hari terakhir, tampak adanya peningkatan aktivitas kegempaan, terutama gempa erupsi.

"Ada yang mencapai 100 kali per hari, ini sudah bisa dijadikan prekursor terjadinya erupsi yang lebih besar," ucap Wahyudi.

Wahyudi mengaku, guguran kubah lava yang dipicu tingginya curah hujan menyebabkan terjadinya luncuran awan panas yang jarak luncurannya cukup jauh, yaitu mencapai 11 km.

Secara saintifik, curah hujan yang tinggi bisa menyebabkan ketidakstabilan pada endapan lava.

"Beberapa kasus, faktor eksternal seperti curah hujan yang tinggi memang bisa menyebabkan thermal stress dan memicu ketidakstabilan dalam tubuh kubah lava. Kubah lava sudah tidak stabil, dipicu hadirnya curah hujan tinggi menyebabkan adanya longsor," terang Wahyudi.

Untuk mengetahui faktor dominan penyebab erupsi gunung merapi lalu, dia menyebut perlu dilakukan analisis data secara terintegrasi yang mencakup data gempa vulkanik, deformasi, gas, dan data curah hujan secara temporal dalam beberapa bulan terakhir.

Baca juga: Pejuang SNMPTN 2022, Ini Jurusan dengan Daya Tampung Terbanyak di UGM

Data-data tersebut dikorelasikan dengan kejadian, baik guguran dengan magnitude kecil maupun magnitude besar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com