Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Jalan Menuju Merdeka Belajar Masih Terjal

Kompas.com - 02/12/2021, 13:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Program ‘Merdeka Belajar’ yang dicanangkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknolog (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim sudah berjalan hampir dua tahun.

Sejumlah kemajuan dan perubahan memang berhasil diraih. Namun, harus pula diakui bahwa kemajuan itu belum cukup optimal.

Menurut Menteri Nadiem. ‘Merdeka Belajar’ dimaksudkan untuk memberi kebebasan dan otonomi kepada Lembaga pendidikan supaya mereka merdeka dari birokratisasi.

Guru dan dosen dibebaskan dari administrasi yang ruwet. Siswa dan mahasiswa mendapat kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai.

Secara konseptual, apa yang disampaikan oleh Menteri Nadiem sangat beralasan. Sebab, memang begitulah yang dibutuhkan Indonesia di masa depan.

Dunia tidak membutuhkan anak-anak yang pandai menghafal, melainkan anak-anak yang berpikir kreatif dan inovatif.

Untuk memuluskan gerakan Merdeka Belajar, Menteri Nadiem sudah mencanangkan empat kebijakan pendidikannya yang kontroversial.

Salah satunya adalah penghentian ujian nasional pada tahun 2021. Ujian nasional akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (penguatan literasi, numerasi, dan pendidikan karakter).

Ujian tersebut diperuntukkan bagi siswa kelas menengah (kelas empat SD, kelas delapan SMP, dan kelas sebelas SMA).

Namun, nilai tes ini tidak dapat digunakan untuk tes masuk sekolah.

Nadiem yang lulusan Harvard ini juga berencana merevisi materi pembelajaran, sistem zona untuk sekolah dan standar ujian sekolah nasional.

Terlepas dari berbagai kritik, kebijakan menghentikan Ujian Nasional memang sudah sepatutnya diterapkan karena sejauh ini sistem pendidikan di Indonesia memberikan tekanan kepada siswa untuk memberikan “jawaban buku teks”.

Kita sepakat dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter. Kita percaya bahwa karakter dapat mengarahkan seseorang pada kebaikan dan kesuksesan.

Membangun karakter sama pentingnya dengan menguasai keterampilan literasi dan berhitung.

Memiliki akhlak yang baik seperti empati, toleransi, kasih sayang, kedermawanan yang dipadukan dengan kemampuan akademik akan menciptakan pemimpin masa depan yang fenomenal.

Ketika siswa belajar bagaimana berkolaborasi dengan orang lain, bagaimana menghormati perbedaan, bagaimana bersikap adil, bagaimana mengendalikan amarah mereka, bullying di sekolah dapat dicegah.

Sekolah harus menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk belajar dan berinteraksi satu sama lain.

Dalam sistem pendidikan Jepang, misalnya. Salah satu tujuan pendidikan mereka adalah untuk mengajarkan tata krama sebelum pengetahuan.

Anak-anak akan fokus pada pengembangan budi pekerti yang positif dan tidak akan ada ujian sampai kelas empat.

Kita bisa berpendapat bahwa itu bisa menjadi salah satu alasan mengapa orang Jepang sopan dan cerdas.

Lebih daripada itu, kita sepakat Ujian Nasional harus ditiadakan karena pembelajaran selama beberapa tahun tidak dapat dinilai secara adil dalam beberapa hari ujian.

Ini adalah kesalahpahaman umum bahwa seseorang harus belajar untuk lulus ujian, sementara ujian mungkin tidak benar-benar mengukur pembelajaran.

Oleh karena itu, proses pembelajaran bisa menjadi dangkal dan tidak bermakna bagi siswa.

Untuk merangsang pembelajaran yang mendalam, siswa harus memahami tujuan pembelajaran yang holistik.

Di Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik sedunia, sekolah dijadikan sebagai pusat komunitas dan siswa berperan aktif di mana mereka menetapkan target dan menilai diri mereka sendiri.

Jadi, kita setuju dengan konsep Merdeka Belajar yang bermaksud merangsang siswa untuk menjadi pemimpin yang inovatif dengan rasa membumi.

Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang cerdas, pemikir kritis, arif, dan percaya diri tanpa membuat siapapun merasa minder.

Kita ingin melihat orang Indonesia bersatu untuk mendukung kebijakan baru dan memberikan umpan balik yang membangun.

Kekurangannya

Ibarat pepatah ’tiada gading yang tak retak’, begitu pula dengan kebijakan Merdeka Belajar, ada pula kekurangan atau potensi kendalanya.

Salah satu kekurangan yang kasat mata adalah kebijakan ini belum begitu matang dalam persiapan.

Usai dicetuskan oleh Menteri Pendidikan Indonesia, sejatinya konsep Merdeka Belajar diperkuat dengan suatu upaya pematangan melalui berbagai penelitian dan diskusi, sebelum diterapkan.

Bukannya seperti sekarang, berjalan sambil dibenahi.

Selain itu, sosialisasinya belum benar-benar masif dan menukik. Kalau mau jujur, hingga saat ini konsep ini hanya dikenali oleh pihak otoritas dan sebagian kecil pelaku pendidikan.

Belum menyentuh seluruh pemangku kepentingan pendidikan, terutama para peserta didik dan para orangtua/wali.

Dari berbagai media massa dan media sosial terkesan peserta didik belum paham apa yang dimaksudkan dengan ‘Merdeka Belajar’.

Bahkan, ada kesan, mereka menafsirnya sebagai ‘bebas belajar’, namun pasti naik kelas.

Dikuatirkan bahwa apabila program itu tidak ‘benar-benar matang’ hingga akhir masa jabatan Menteri yang mencetuskannya, maka akan diganti oleh Menteri dari Kabinet berikutnya.

Sebagaimana biasanya, maka progam akan berubah.

Selain itu, program Merdeka Belajar masih diwarnai dengan kurikulum dan metode pembelajaran yang belum terencana dengan baik.

Prosedur pelaksanaan pendidikan dan pengajaran dalam Merdeka Belajar belum menjawab masalah mutu pendidikan yang telah menjadi momok sistem pendidikan kita.

Memang, Undang-undang No. 12 tahun 2012, mengamanatkan agar seluruh pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia berupaya meningkatkan sistem pembelajaran untuk mewujudkan suasana belajar bagi para peserta didik agar lebih aktif dalam meningkatkan kemampuannya di segala bidang.

Mulai dari kepribadian, softskill, ketrampilan, hingga bela Negara.

Namun, upaya untuk melaksanakan amanat UU tersebut belum masif dilakukan. Oleh karena itu hasilnya belum kelihatan secara nyata.

Hal lain yang menjadi kendala dari program Merdeka Belajar adalah kondisi SDM yang belum cukup kuat.

Program Merdeka Belajar mengandaikan adanya kekuatan SDM yang berkualitas yang disiapkan secara sistematis.

Namun, kenyataannya tidaklah demikian. SDM pendidikan kita masih berkutat dengan masalah jumlah dan kualitas yang belum memadai.

Tambahan pula, dari sisi pengalaman, semua SDM pendidikan adalah hasil dari pendidikan ‘yang tak merdeka’.

Artinya, sebagai eksekutor program Merdeka Belajar, mereka sendiri belum punya pengalaman mengenai ‘Merdeka Belajar’.

Dalam ‘mindset’ mereka, proses pendidikan itu tidak lain melakukan seperti yang mereka telah alami dan kerjakan selama ini.

Kendala lain yang tak kalah beratnya adalah soal koordinasi yang belum rapih antara Kemendikbud dengan Lembaga terkait seperti LLDikti dan Badan Akreditasi.

Koordinasi itu menjadi makin lamban lantaran pandemi Covid-19.

Terbukti semenjak program Merdeka Belajar bergulir, LLDikti dan BAN PT masih berjalan sebagaiman ‘business as usual’.

Merespons program Kemendikbud soal Merdeka Belajar, pihak LLDikti tampak melakukan sosialisasi secara terbatas melalui webinar.

Sementara untuk meningkatkan mutu pendidikan, LLDikti masih berkutat dengan sistem penjaminan mutu internal (SPMI) yang menekankan model PPEPP, yaitu Penetapan Standar Dikti; Pelaksanaan Standar Dikti; Evaluasi (Pelaksanaan) Standar Dikti; Pengendalian (Pelaksanaan) Standar Dikti; dan Peningkatan Standar Dikti.

BAN PT yang menjadi pelaksana sistem penjaminan mutu eksternal (SPME) juga masih berkutat dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi dan Standar Pendidikan yang dibuat oleh perguruan tinggi.

Yang terjadi karena pandemi Covid-19, BAN PT hanya mengalihkan kegiatan visitasi dari luring ke daring. Tak ada inisiatif yang benar-benar merespons program Merdeka Belajar.

Padahal, sebagaimana diketahui, baik SPMI maupun SPME sudah dikeluhkan sebagai hal mengungkung pengelola Kampus dan para dosen dengan pekerjaan administratif, hal yang justru hendak dibasmi melalui program Merdeka Belajar.

Lemahnya inisiatif dan langka inovatif pada lembaga-lembaga terkait membuat dosen tidak bisa berperan sebagai agen perubahan.

Akibatnya, kegiatan Tri Dharma pendidikan berlangsung sebagaima biasa.

Dosen tidak punya kemampuan berkreasi dan tidak juga leluasa untuk mengembangkan model pembelajaran sendiri.

Kegiatan penelitian dilakukan ala kadarnya. Bukan rahasia banyak dosen menggunakan hasil penelitian mahasiswanya saja.

Begitu pula, dengan pengabdian kepada masyarakat (PKM). Artinya, PKM hanya dilakukan kalau sempat saja, syukur-syukur kalau diundang Pemda dan organisasi lainnya.

Perlu ‘Birokrasi yang Merdeka’

Pendidikan kita memang sepantasnya mengembangkan Merdeka Belajar. Namun, program dan kebijakan itu perlu disiapkan secara baik, dengan dukungan riset yang kuat.

Selanjutnya, perlu dilakukan sosialisasi yang masif yang menyentuh seluruh pemangku kepentingan pendidikan, mulai dari pihak otoritas, penyelenggara dan pengelola pendidikan, para dosen/guru, para siswa/mahasiswa, termasuk masyarakat (orangtua/wali).

Hal lain yang juga penting adalah melakukan reformasi birokrasi di tingkat kementerian, LLDikti, BAN PT dan Sekolah/Kampus.

Mereka ini perlu memiliki mindset yang merdeka, sehingga benar-benar berinisiatif dan mampu menyusun kebijakan dan program yang inovatif yang menunjang terciptanya iklim ‘Merdeka Belajar’.

Dan, yang lebih penting adalah memaknai program Merdeka Belajar sebagai milestone, bukan sebagai capaian.

Pertanyaannya yang harus dijawab oleh semua pemangku kepentingan di Indonesia, terutama pihak otoritasnya, apakah yang harus disasar dengan program Merdeka Belajar itu.

Belajar dari negara-negara yang berhasil menata sistem pendidikan seperti Finladia, Amerika Serikat, Jerman, Belgia, Iggris, Belanda, Perancis dan Jepang, kita harusnya berani menetapkan bahwa sasaran pendidikan kita adalah self-drive learning dan life-long learning. Bukan yang lain!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com