Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Kepedulian dan Inisiatif Perubahan Iklim: Orang Muda Kini, Yuk Bisa Gerak Yuk!

Kompas.com - 30/11/2021, 09:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Berbagai literatur menyatakan sejak awal tahun 2000 suhu bumi telah naik sebesar 1,1 derajat celsius. Hal ini sangat berdampak terhadap berbagai peristiwa alam seperti banjir bandang, kebakaran hutan, mencairnya es di kutub dan berbagai ketidakseimbangan ekologi lainnya.

Pemanasan global kini semakin kita rasakan dampaknya.

Berdasarkan data BBC.com, nyatanya dampak pemanasan global yang terjadi saat ini disebabkan karena berbagai aktivitas penduduk bumi yang berkontribusi di atas 90 persen terhadap ketidakseimbangan ekosistem bumi saat ini.

Sebut saja aktivitas seperti penumpukan dan produksi sampah, pembakaran energi fosil untuk transportasi dan industri, penebangan hutan, pemancingan skala besar hingga peternakan hewan berskala besar.

World Meteorological Organization (2021) lalu menyatakan gletser Puncak Jaya di Papua merupakan satu-satunya gletser tropis, berada di Pegunungan Himalaya dan Andes yang masih tersisa, diprediksi akan menghilang dalam 5 tahun ke depan.

Pandemic Talks juga menyatakan rata-rata permukaan laut global adalah salah satu indikator iklim global utama. Bahkan rata-rata permukaan laut global telah mencapai rekor tertinggi baru ditahun 2021 ini.

Mari kita terus gaungkan kepedulian dan gerakan sadar iklim, Indonesia milik kita bersama yang harus dijaga. Siapa lagi kalau bukan generasi mudanya.

Kita bisa melihat berbagai fenomena ekstrem terjadi ditengah kita, seperti gelombang panas hingga lebih dari 50 celcius di California dan Italia, curah hujam dan banjir bandang di Tiongkok, Belgia dan Jerman.

Ratusan saudara kita tengah terdampak bencana hidrometeorologi (bencana karena perubahan iklim).

Baca juga: Krisis Iklim Disebutkan Mengacaukan Bentuk Tubuh Burung, Kok Bisa?

Beberapa waktu terakhir, dunia terpaku hanya pada satu hal, yaitu bagaimana negara-negara dunia menunjukkan komitmen konkritnya terhadap penyelesaian perubahan iklim. Dari KTT G-20 hingga COP26, isu ini menjadi perhatian seluruh masyarakat global tanpa terkecuali.

Keputusan para pejabat elit dunia inilah yang akan menentukan nasib Bumi: apakah kita bisa menahan laju kenaikan suhu di bawah 1,5 celsius atau tidak.

Namun, banyak yang pesimis terhadap hasil akhir pertemuan tersebut, khususnya pemuda.

Demonstrasi yang terjadi sepanjang pertemuan mengungkapkan semuanya. Banyak yang kecewa, karena para pemimpin dunia dianggap tidak mampu menghasilkan kebijakan global terkait penyelamatan lingkungan secara konkrit.

Yang menarik adalah, terlepas dari hasilnya, apa yang dilakukan pemuda selanjutnya?

Pemuda dalam isu perubahan iklim

Pangeran Charles, yang ikut menghadiri KTT G-20, mengatakan, “Quite literally, it is the last chance saloon. We must now translate fine words into still finer actions."

Pernyataannya sangat tegas, penuh urgensi, serta kekhawatiran yang mendalam. Pernyataan Pangeran Charles ini menegaskan bahwa perubahan iklim semakin menjadi ancaman jika kita tidak segera menemukan solusinya.

Apalagi, para ilmuwan mengatakan kalau kita hanya punya satu dekade untuk menekan laju kenaikan suhu. Singkatnya, kita ada dalam titik kritis.

Toby Ord mengatakan dalam bukunya "The Precipice", sekarang umat manusia berada dalam resiko tinggi menghancurkan dirinya sendiri. Perubahan iklim menjadi permasalahan yang bisa membawa manusia kehilangan potensi jangka panjangnya untuk berkembang.

Kemungkinan tersebut akan semakin besar jika dunia membiarkan perubaham iklim tanpa adanya penyelesaian. Dengan kata lain, sekaranglah saatnya bagi kita untuk bertindak mencegah bencana eksistensial ke depannya.

Tetapi, sampai saat ini, belum ada komitmen penting dihasilkan. Meski pada KTT G-20 Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan situasi sekarang lebih baik karena AS kembali masuk dalam isu ini, tapi tidak bisa menjamin apakah kita bisa menahan laju kenaikan suhu sesuai dengan angka di Perjanjian Paris.

Persoalannya adalah political will: apakah sebuah negara mau merealisasikan komitmen yang telah diucapkan atau tidak.

Terlalu banyak kepentingan dan aktor, mulai dari energi, porsi tanggung jawab, mekanisme pembiayaan, dan masih banyak lagi sehingga menyulitkan terjadinya kesepakatan-kesepakatan konkrit dan vital.

Baca juga: Dua Produsen Emisi Karbon Terbesar, AS dan China, Bersatu Atasi Krisis Iklim

Selain itu, ada hal lain yang penulis perhatikan dalam perkembangan isu ini, yaitu kurang diakomodirnya sudut pandang pemuda. Ini menarik, karena isu perubahan iklim berada di tempat ‘spesial’ di hati mereka dan berdampak langsung pada kehidupan pemuda di masa depan.

Ada banyak alasan yang membuat banyak pemuda ikut dalam gerakan perubahan iklim, seperti demonstrasi yang terus terjadi di Glasgow.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com