KOMPAS.com - Heboh pemberitaan mengenai frasa “tanpa persetujuan korban” dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang ditafsirkan melegalkan perzinaan, sepertinya akan terus berlanjut.
Dengan nalar sehat, kita dapat menangkap tujuan dari aturan tersebut berfokus pada penindakan dan pencegahan kekerasan seksual yang selama ini korban terlihat tidak terlindungi bahkan dikesankan justru bersalah dengan label-label “sesat dan negatif bahwa terjadinya pelecehan seksual terjadi karena terlalu seksi atau menggoda.
Padahal, jelas perilaku tersebut melanggar moral dan kini disahkan sebagai pelanggaran hukum.
Kita tentu saja berharap polemik ini segera berakhir dan menyadarkan pihak-pihak yang merasa “benar” bisa menerima aturan ini denga legawa karena ini menyangkut pelecehan yang sudah menjadi rahasia umum acap kali terjadi di lingkungan pendidikan.
Di balik perdebatan aturan pelecehan seksual di atas, sebenarnya saya lebih tertarik mengingatkan publik akan bahaya yang lebih besar lagi yaitu pernikahan dini.
Mungkin Anda masih ingat promosi pernikahan dini yang di kelola Aisha Weddings lewat situsnya, belum lama ini.
Hal ini menjadi terlihat seperti sebuah kejahatan trafficking human karena mengiming-imingi kejahteraaan (uang) untuk menikah siri tanpa hak yang dilindungi undang-undang yang cukup.
Baca juga: Pernikahan Dini Meningkat Selama Pandemi, BKKBN Gencarkan Edukasi Reproduksi
Salain itu, penawaran "promosi" ini juga seolah menjadi modus kejahatan yang merendahkan harkat wanita dan mengajak para wanita untuk segera menikah dengan alasan perintah Tuhan yaitu dengan menterjemahkannya dengan vulgar lewat kata-kata "semua wanita muslim ingin bertaqwa dan taat kepada Allah SWT dan suaminya. Untuk berkenan di mata Allah dan suami , Anda harus menikah pada usia 12-21 tahun dan tidak boleh lebih."
Pertanyaannya, mengapa pendiri situs tersebut berani dan memperkuat klaimnya dengan kalimat yang seolah-olah suci dan mengesankan hanya dengan pernikahanlah kadar ketaqwaan dan lepas dari penderitaan hidup dapat terwujud?
Bahkan tanpa tedeng-aling juga terlihat serius dengan mengakali undang-undang pernikahan dengan cukup pernikahan siri alias tidak dicatat oleh negara dan hanya sah oleh beberapa saksi.
Celakanya lagi, pernikahan siri juga sering kita dengar menjadi siasat licik yang dimanfaatkan lelaki “hidung belang” untuk tidak bertanggung jawab terhadap anak yang sangat mungkin lahir dan cenderung tidak ada perencanaan serius mempersiapkan masa depannya.
Abai dalam hak hidup anak dan berbagai kewajibannya.
Dalam hal ini, bukan saja anak menjadi korban, tapi seorang wanita yang telah menjadi istri kehilangan kesempatannya dalam menata kehidupan yang lebih terukur dan baik karena dianggap hanya “pabrik” anak dan pemuas birahi lelaki dengan dogma sesat.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan aturan tegas yaitu undang undang perkawinan nomor 16 tahun 2019 yang menyatakan syarat perkawinan bagi laki-laki dan wanita minimal 19 tahun.
Sebelumnya, batas usia pernikahan wanita cukup 16 tahun dan pria 19 tahun yang tercantum pada UU nomor 1 tahun 1974.