Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Kembalikan Fungsi Universitas sebagai Ruang Independen

Kompas.com - 25/10/2021, 11:24 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJARAH perjalanan bangsa mencatat bahwa para intelektual kampus memiliki peran penting dalam pembangunan dan perubahan yang terjadi di Indonesia mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga era reformasi.

Di era kolonial menuju kemerdekaan Indonesia, kelompok intelektual hadir sebagai garda depan untuk melawan dan membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan.

Kemudian pada 1998, kelompok intelektual kampus juga berperan besar dalam penggulingan rezim otoriter Orde Baru.

Bahkan di era refomasi saat ini, para intelektual kampus juga terus aktif melakukan berbagai kritik dan intervensi sosial-politik bilamana terjadi ketidakberesan dan ketidakadilan yang terjadi di level pemerintahan negara.

Terkait dengan hal ini, sudah menjadi kewajiban seluruh sivitas akademika untuk melayani dan mengabdikan diri pada masyarakat seperti yang tertulis dalam tri dharma perguruan tinggi.

Oleh karena itu kelompok intelektual kampus tidak boleh netral dan harus berpihak pada rakyat supaya tidak ditindas oleh rezim penguasa (Tan Malaka, 1926).

A.A. Nugroho (2016) dalam artikelnya Intelektual Kampus, Kekuasaan, dan Produksi Pengetahuan menulis, sekelompok intelektual kampus Universitas Gadjah Mada pada 28 Oktober 1988 merumuskan sumpah mahasiswa yang terinspirasi dari gerakan Sumpah Pemuda yang berbunyi:

Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah, bertanah air satu, tanah air tanpa penindasan.
Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah, berbangsa satu, bangsa yang gandrung akan keadilan.
Kami Mahasiswa Indonesia bersumpah, berbahasa satu, bahasa tanpa kebohongan.

Berangkat dari pemikiran ini, universitas harus berfungsi sebagai ruang kritis dan inovatif dalam mengembangkan berbagai rumpun ilmu pengetahuan untuk kepentingan masyarakat dan mencegah rezim penguasa bertindak sewenang-wenang.

Sivitas akademika universitas juga harus hadir sebagai kekuatan yang mandiri dan bebas dari berbagai kepentingan politik-ekonomi seperti yang termaktub dalam dokumen Magna Carta Universitatum (1988) di Bologna yang menjadi rujukan filosofis universitas di dunia:

“The university is an autonomous institution at the heart of societies organized because of geography and historical heritage; it produces, examines, appraises and hands down culture by research and teaching. To meet the needs of the world around it, its research and teaching must be morally and intellectually independent of all political authority and economic power.”

Penyataan ini menjelaskan bahwa universitas merupakan lembaga otonomi yang melakukan berbagai kajian dan pengajaran untuk masyarakat suatu budaya karena pada prinsipnya baik secara moral maupun intelektual universitas harus bebas dari kepentingan dan kekuasaan politik serta kekuatan ekonomi apapun.

Universitas bukan kantor atau korporasi

Salah satu hal yang membuat universitas menjadi spesial dan mulia adalah karena sifatnya yang independen-inovatif dan bebas dari kepentingan rezim penguasa. Sebagai ruang akademik, universitas secara mandiri bertugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan mengabdi untuk kepentingan publik.

Universitas adalah entitas yang paling inovatif, responsif, kreatif, dan kooperatif. Oleh karena itu, ia harus berjalan dengan prinsip otonomi untuk dapat berkembang secara baik dan sehat dan harus terhindar dari segala bentuk generalisasi kekuasaan yang sesungguhnya bertentangan dengan nature atau hakikat dari universitas sebagai ruang independen.

Berangkat dari pemikiran ini, sistem tata kelola universitas juga seharusnya menekankan pada kolegialitas bukan bergaya komando yang berbasis pada kekuasaan sentralistik.

Artinya, baik itu rektor dan dosen adalah kolega atau sejawat yang saling bekerjasama memajukan lembaga pendidikan tanpa harus ada istilah atau budaya atasan dan bawahan seperti yang banyak terdapat di kantor atau korporasi.

Universitas harus selalu mengedepankan prinsip demokrasi. Artinya, segala keputusan yang menyangkut lembaga harus diambil secara kolektif, musyawarah, dan disepakati bersama demi kepentingan dan kebaikan semua insan akademik.

Contohnya dalam penyusunan statuta yang merupakan anggaran dasar perguruan tinggi dalam melaksanakan tri dharma dan rujukan dalam merencanakan, mengembangkan program, dan menyelenggarakan kegiatan fungsional sesuai dengan tujuan perguruan tinggi.

Statuta sejatinya adalah nyawa dari sebuah perguruan tinggi yang dalam penyusunannya harus mengedepankan prinsip demokrasi dan musyarawah untuk mufakat.

Jika dalam prosedur pembuatan statuta sudah cacat formil, tidak demokratis, dan hanya menguntungkan kepentingan penguasa atau segelintir orang, maka masa depan perguruan tinggi adalah taruhannya.  Bukan tidak mungkin KKN akan tumbuh subur di lingkungan universitas.

Untuk itu, sekalipun menduduki salah satu jabatan tertinggi, seorang rektor pun tidak boleh bertangan besi dan bertindak otoriter dalam membuat keputusan dan kebijakan, terlebih lagi memperlakukan dosen-dosen layaknya pegawai administratif yang harus tunduk pada komando kekuasaannya.

Jika ini terjadi, universitas akan kehilangan fungsinya sebagai ruang intelektual yang memberdayakan dan menjelma menjadi lembaga pendidikan yang menghamba pada feodalisme dan penyeragaman pola pikir yang berpotensi menekan daya kritis, kreativitas, dan inovasi.

Beban administratif dan pembonsaian kewajiban dosen

Permasalahan kronis lain yang terjadi dalam banyak universitas saat ini adalah tekanan kuasa administratif dan berbagai aturan mengikat dari para birokrat pendidikan yang berpotensi membonsai dan membelenggu tugas utama dan ruang gerak dosen sebagai insan intelektual.

Alih-alih sibuk mengembangkan potensi diri sebagai akademisi yang inovatif dan kritis, para dosen justru terlalu sibuk mengerjakan tugas administratif yang minim kontribusinya terhadap tri dharma serta kemajuan perguruan tinggi.

Karena sibuk mengerjakan setumpuk laporan dan berbagai beban administratif, mereka banyak kehilangan waktu untuk meng-upgrade perkembangan ilmu pengetahuan, membaca, dan menulis buku.

Lebih mirisnya lagi, mereka kekurangan waktu untuk melakukan riset dan pengabdian yang sejatinya merupakan salah satu tri dharma perguruan tinggi yang berpotensi memunculkan gerakan sosial yang memberdayakan masyarakat dan lingkungannya.

Sekalipun dilakukan, kebanyakan penelitian dan pengabdian dilaksanakan sebagai sarat pemenuhan beban kerja dosen saja. Begitu pun dengan pengajaran. Karena dominannya pekerjaan administratif, pengajaran di kelas umumnya hanya bersifat penyelesaian kurikulum semata dan minim interaksi kritis dengan mahasiswa.

Kritik Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, yang dikutip oleh Sumbo Tinarbuko (Kompas, 20/10/2021), menyatakan bahwa jika ingin perguruan tinggi maju dan kompetitif, dosen seharusnya dibebastugaskan dari segala kewajiban mengurusi segala hal nonteknis administratif.

Untuk itu, sudah seharusnya para pemangku kepentingan memangkas berbagai regulasi yang berpotensi menghambat kinerja dosen karena mereka adalah salah satu ujung tombak perubahan sosial di negeri ini yang sepatutnya difasilitasi dan diberikan ruang untuk mengembangkan potensi keilmuan mereka.

Tidak sepantasnya mereka diperlakukan sebagai pegawai yang harus tunduk dan menghamba pada kekuasaan yang sentralistik.

Negeri ini tidak membutuhkan perguruan tinggi yang hanya sibuk beretorika saja melainkan perguruan tinggi yang revolusioner dan kelompok intelektual yang kritis-inovatif untuk melakukan pengabdian masyarakat dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com