PENGGUNAAN bahasa Indonesia yang baik dan benar belum tentu mendapat respons positif dari orang-orang di sekitar kita. Sering kali ketika kita mengucapkan suatu kata dengan benar malah dinilai salah atau janggal karena dianggap tidak lazim.
Itulah salah satu percikan masalah perkembangan bahasa saat ini. Harus diakui bahwa perubahan bahasa itu dinamis sesuai kemajuan zaman, apalagi dengan kehadiran teknologi informasi dan media sosial yang begitu berpengaruh.
Banyak istilah baru dan kata serapan dari bahasa asing dan bahasa daerah bermunculan, lalu menjelma jadi bahasa sehari-hari.
Pemerhati bahasa NW Sartini dalam bukunya yang bertajuk Revitalisasi Bahasa Indonesia dalam Konteks Kebahasaan (2014) mengatakan, penggunaan bahasa Inggris secara berlebihan atau salah kaprah menjadi salah satu penyebab kekacauan bahasa dalam tingkat kosakata, semantik, dan struktur.
Menurut Sartini, masih ada penyebab lain, di antaranya pelanggaran kaidah-kaidah bahasa Indonesia, baik di media massa maupun di tempat-tempat umum; dan masuknya struktur kalimat bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan bahasa Indonesia yang benar.
Baca juga: Salah Kaprah Bahasa, antara Ketidaktahuan dan Kemalasan (1)
Meski demikian, banyak orang yang berpendapat bahwa salah mengucapkan diksi atau pilihan kata itu lumrah dan tidak perlu dibikin pusing, yang penting bisa dimengerti dan komunikasi lancar.
Hal itulah yang membuat orang malas dan tidak berniat untuk mencari tahu di kamus atau sumber resmi tentang arti dari suatu kata, terutama bagi orang yang sudah melek pendidikan. Dia terus berpendirian bahwa pemahamannya adalah benar sesuai pemikiran dan pengalaman hidup sehari-hari.
Lain lagi dengan orang yang latar belakang pendidikan formalnya kurang sehingga tidak mempelajari bahasa Indonesia secara benar. Percakapannya setiap hari berdasarkan pengertian apa adanya sehingga kadang kala kata yang disampaikan belum tentu benar sesuai konteksnya.
Terkait hal itu, artikel sebelum ini sudah membahas tentang beberapa contoh kosakata yang salah kaprah. Berikut ini sejumlah contoh lainnya yang acap kali kita temui:
1. Pewaris adalah orang yang mewariskan atau memberi warisan, sedangkan ahli waris yaitu orang yang berhak menerima warisan. Penggunaan kata-kata tersebut kerap terbolak-balik.
Contoh:
2. Absensi berarti ketidakhadiran, sedangkan presensi artinya kehadiran. Jadi, daftar yang digunakan untuk mencatat kehadiran seseorang seharusnya disebut “daftar presensi”, bukan “daftar absensi”.
Contoh:
3. Haru biru memiliki pengertian yaitu kerusuhan, keributan, kekacauan; bukan sesuatu yang membuat rasa kasihan atau iba. Jika seseorang mengucapkan kata “haru biru” yang bermaksud kasihan atau iba, itu salah. Seharusnya cukup dengan kata “haru”.
Contoh:
Baca juga: Kucing, Tikus, dan Ular, Metafora yang Laris Saat Pandemi
4. Alih-alih mempunyai arti yang benar yaitu “dengan tidak disangka-sangka, kiranya, dan sebagai pengganti”, sesuai KBBI. Namun, banyak orang yang salah memahaminya.
Padahal, supaya gampang dimengerti, “alih-alih” bisa diganti dengan kata “ternyata”, “bermaksud”, dan “bukannya”, tergantung posisinya dalam suatu kalimat.
Contoh:
5. Bahwa merupakan kata penghubung untuk menjelaskan induk atau bagian kalimat di depannya. Pemakaian kata “jika”, “kalau”, dan “bila” sebagai kata penghubung yang artinya syarat atau pengandaian masih sering salah kaprah, yang seharusnya memakai kata “bahwa”.
Contoh:
Baca juga: Peluluhan Kata Dasar Berawalan KPST
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.