Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Leaducation dan Budaya Inovasi

Kompas.com - 23/09/2021, 21:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Dunia yang terbentuk saat ini adalah hasil dari inovasi. Mulai dari inovasi agraria, industri, hingga teknologi kecerdasan buatan. Karena inovasi, dunia sekarang telah memasuki era teknologi yang cepat dan penuh dengan kejutan.

Dunia kita menjadi lebih baik dari sebelumnya berkat hadirnya banyak inovasi ditengah kehidupan kita.

Salah satu kunci dari lahirnya inovasi adalah bagaimana pemimpin menumbuhkan budaya kreatif dan inovatif dari para anggotanya serta merangsang daya imajinasi para anggotanya.

Pandemi Covid 19 menjadi momen baik bagi tumbuhnya kultur inovasi karena keadaan yang memaksanya. Salah satu karakter dalam konsep Leaducation adalah bagaimana pemimpin memiliki sikap inovatif dan mendorong anggotanya memaksimalkan daya imajinatif mereka.

Leaducator berusaha menghapuskan stigma bahwa kesalahan itu berarti satu langkah lebih dekat untuk mencapai inovasi yang diinginkan.

Seperti kata Thomas Alva Edison, “Banyak kegagalan dalam hidup, mereka tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.”

Tidak siap dan bukan prioritas

Memutuskan apakah kita akan berinovasi atau tidak itu membutuhkan banyak keberanian. Tidak semua mampu mengambil resiko untuk mendapatkan hasil yang lebih baik di masa depan.

Terdapat dua kelompok: mereka yang berani mengambil resiko atau seorang risk taker, dan mereka yang terbuai di dalam zona nyaman.

Ketika bicara inovasi, hasilnya tidak akan muncul dalam waktu satu malam saja. Inovasi membutuhkan kesabaran dan semangat belajar yang tidak terputus. Karena itu, kita tidak bisa mengharapkan hasil yang cepat untuk sebuah inovasi besar.

Alhasil, para pemimpin lebih memilih untuk menajamkan sesuatu yang telah terbukti keberhasilannya atau melakukan refinement. Itu tidak masalah, selama memang refinement menghasilkan sesuatu yang konkrit untuk organisasi.

Namun, mereka dipastikan tidak akan bertahan jika tidak berinovasi.

McKinsey pada tahun 2020 menemukan kebijakan inovasi menjadi di kesampingkan. McKinsey membandingkan bagaimana pola prioritas sebelum pandemi dan saat pandemi. Hasilnya mengejutkan, tetapi bisa dibilang wajar.

Banyak yang menganggap inovasi tidak begitu penting dan fenomena itu terjadi di multi-sektor. Misalnya, di bidang jasa komunikasi. Sebelum pandemi, 70 persen menganggap inovasi penting.

Namun, ketika pandemi menyambut, persentasenya turun menjadi 20 persen. Begitu juga di bidang lain persentasenya turun jauh.

Hanya bidang medis dan pengobatan yang memfokuskan diri pada inovasi. Sikap yang diambil para pemangku kebijakan di bidang medis juga bisa dimaklumi karena adanya tuntutan mempercepat pembuatan vaksin dan produksi obat-obatan lainnya.

Dalam penemuan McKinsey di atas, ada empat alasan mengapa organisasi enggan melakukan inovasi, diantaranya menghemat biaya, mengeksplor kesempatan yang telah diketahui seluk beluknya, mempertahankan bisnis inti, dan meminimalisir resiko.

Ini wajar karena pandemi memberi shock effect yang sangat besar bagi para pemangku kepentingan. Mereka ingin bertahan dari gempuran Covid-19 dan melakukan apapun agar organisasi tidak runtuh.

Selain itu, ketika meninjau riset Most Innovative Company dari Boston Consulting Group (BCG) tahun 2021, hanya 20 persen yang memiliki kesiapan meningkatkan inovasi. Dengan kata lain, mayoritas organisasi belum punya kematangan cukup menghasilkan penemuan baru.

Ini pun juga bisa kita interpretasikan bahwa menaikkan skala inovasi itu sebuah hal yang sulit dan membutuhkan banyak aspek serta pertimbangan yang matang. Karenanya, 20 persen ini termasuk organisasi yang telah matang dalam segi budaya dan komitmen.

Akan tetapi, diungkap dalam riset BCG juga, organisasi yang punya komitmen kuat juga sulit dalam meraih kesiapan berinovasi.

Dalam tingkat komitmen, organisasi memiliki kesiapan tinggi, tetapi ketika memasuki tahap implementasi seperti bagaimana mengelola project inovatif, justru mereka tidak siap. Berarti, yang perlu kita highlight adalah bagaimana mempersiapkan inovasi dalam tataran praktis.

Situasi sekarang menjadi momentum memprioritaskan kembali kebijakan inovasi dalam tubuh organisasi. Vaksin sudah terdistribusi dengan baik dan negara kita berada di peringkat enam dunia dalam vaksinasi.

Ini sebuah prestasi luar biasa di mana prinsip gotong royong dipraktekkan dengan baik. Ditambah lagi sudah cukup banyak daerah yang level PPKM-nya menurun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com