KOMPAS.com - Sejak pandemi Covid-19, siswa harus ikut pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal ini dilakukan agar pendidikan tetap berjalan meski di tengah pandemi.
Untuk mendukung PJJ itu, pemerintah tak tinggal diam. Salah satu upayanya ialah PJJ melalui televisi. Hingga pemberian bantuan kuota internet gratis.
Meski demikian, upaya itu tak bisa menjawab sepenuhnya tantangan PJJ di Indonesia. Ada studi dari Global Save the Children pada Juli 2020 yang dilakukan di 46 negara, khususnya Indonesia, ternyata menemukan fakta bahwa 7 dari 10 anak mengatakan jarang belajar atau hanya sedikit belajar selama pandemi.
Baca juga: Praktisi Pendidikan: Begini Cara Menyiasati Learning Loss
Hal ini disebabkan oleh beberapa hal seperti:
Selina Patta Sumbung selaku CEO Save the Children Indonesia mengatakan, studinya jelas menggambarkan bahwa banyak anak di Indonesia menghadapi kesulitan dalam belajar daring.
"Bahkan motivasi belajar menjadi menurun dan ini bisa berpengaruh pada kemampuan literasi dan numerasi anak," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (8/9/2021).
Menurutnya, seluruh pihak perlu bersama-sama mengantisipasi kesulitan belajar yang menjadikan anak-anak kehilangan kemampuan dan pengalaman belajar (learning loss).
Sebab, dikhawatirkan akan berdampak pada kurangnya keahlian mereka di saat dewasa untuk bisa berkompetisi di dunia kerja/usaha, serta berakhir pada menurunnya kemampuan menghasilkan pendapatan.
Tak hanya itu saja, di beberapa wilayah, anak–anak terancam putus sekolah karena anak harus bekerja dan atau menikah dini.
"Tindakan yang sistematis, aman dan inklusif harus segera dilakukan dan menjadi prioritas untuk mendukung pemberian akses pembelajaran bagi semua anak sebagai bagian dari pemulihan yang berkelanjutan," terangnya.
Kelompok anak yang tergabung sebagai Child Campaigner gerakan Save Our Education dan merupakan bagian dari Child and Youth Advocacy Network (CYAN) melakukan survei tentang pemerataan paket internet bagi peserta didik.
Hasilnya, ada 44 dari 105 responden anak (42 persen) menyampaikan bahwa mereka tidak mendapatkan kuota gratis baik dari Pemerintah maupun sekolah.
Baca juga: Manusia Purba di Indonesia, Siswa Yuk Belajar
Menurut Gya, Koordinator Child Campaigner Save the Children di Yogyakarta, hasil surveinya menemukan bahwa siswa yang tidak mendapatkan kuota gratis ini salah satu alasannya karena tidak terdata.
"Padahal secara faktor ekonomi mereka sangat membutuhkan. Jadinya banyak anak yang merasa sedih, kecewa bahkan merasa ini tidak adil," ungkapnya.
Dijelaskan, hasil survei ini juga memotret upaya anak-anak yang tidak mendapat kuota internet tetapi tetap melakukan berbagai cara untuk dapat mengakses pembelajaran.