Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Kemerdekaan dan Pendidikan Kita

Kompas.com - 30/08/2021, 15:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketika diangkat sebagai Mendikbud, Nadiem Makarim meluncurkan Merdeka Belajar. Kini sudah memasuki episode keenam dengan fokus pada transformasi pendidikan tinggi agar mampu mencetak lebih banyak lagi talenta-talenta yang mampu bersaing di tingkat dunia.

Pada masa pandemi Covid-19, Kemendikbud melakukan sejumlah terobosan yang dilakukan secara cepat dan masif. Misalnya, dengan memberikan bantuan Dana BOS Afirmasi dan BOS
Kinerja untuk mengurangi dampak keterpurukan ekonomi sekolah negeri dan swasta.

Di samping itu, Kemendikbud juga menghadirkan kurikulum dan modul pembelajaran dalam kondisi khusus untuk meringankan kesulitan pembelajaran di masa pandemi Covid-19.

Selanjtunya, berdasarkan basis data portal Rumah Belajar, total pengguna baru Rumah Belajar pada  2020 sebanyak 7,79 juta dengan pengunjung portal Rumah Belajar sebanyak 105,532 juta.

Yang masih perlu dibenahi

Selain berbagai pencapaian sebagaimana disebutkan di atas, harus diakui pula dunia pendidikan kita belum benar-benar merdeka.

Artinya, dalam aspek pendidikan kita masih jauh tertinggal di badingkan dengan negara tetangga seperti Malysia, Filipina, Thailand, apalagi Singapura.

Pada akhir 2020 lalu data Bank Dunia menyebutkan bahwa para kepala sekolah di Indonesia lebih cenderung menunjukkan kekurangan infrastruktur dan materi di sekolah mereka.

Misalnya, 29 persen kepala sekolah di Indonesia menunjukkan kekurangan materi yang besar. Persentase ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Meksiko (20 persen), Filipina (14 persen), dan Brazil (10 persen).

Hal lain yang menjadi pekerjaan rumah bagi semua kita adalah kondisi infrastruktur yang kurang berkualitas.

Merujuk data Kemendikbud, jumlah kelas SD, SMP, SMA dan SMK dalam kategori rusak berat pada tahun 2015 mencapai 78.974. Kemudian kategori rusak total sebanyak 74.436. Jika dijumlah, kelas kategori rusak berat dan total sebanyak 153.410.

Pada 2017, jumlah kelas kategori rusak berat dan total naik pada tahun 2017 menjadi 129.780. Kelas SD, SMP, SMA/SMK yang rusak berat 78.441 dan rusak total 51.339. Bukannya turun, jumlah kelas rusak berat dan total semakin bertambah.

Pada 2019 jumlah kelas rusak berat dan total mencapai 141.752. Bahkan, pada 2020 disebutkan sekitar 70 persen jumlah kelas pada setiap jenjang pendidikan kondisinya rusak ringan/sedang maupun rusak berat.

Hal lain yang juga perlu dibenahi adalah akses pendidikan yang belum merata, baik dari segi geografis, maupun dari aspek gender.

Persentase penduduk di pedesaan yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat Sekolah Dasar lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkotaan.

Kesenjangan juga bisa dilihat berdasarkan pada gender antara perempuan dan laki-laki. Proporsi penduduk perempuan dibanding laki-laki yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com