Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akademisi UI Teliti Terapi Sel Punca sebagai Solusi Antipenuaan

Kompas.com - 17/08/2021, 07:00 WIB
Mahar Prastiwi,
Dian Ihsan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Terlihat awet muda tentu menjadi hal yang diidam-idamkan. Berbagai cara dilakukan termasuk melakukan berbagai perawatan tubuh dan wajah.

Mahasiswa program doktor program studi Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Universitas Indonesia (UI) Adisti Dwijayanti melakukan penelitian 'Efek AntiPenuaan Sel Punca Mesenklimal Korda Umbilikalis Manusia (SPM-KUM) Tinjauan Seluler, Biokimia, dan Organismal Pada Tikus Tua'.

Adisti menjelaskan, cara SPM-KUM mampu memperlambat efek penuaan dan kematian terhadap manusia.

Menurutnya, sel punca merupakan sel yang mampu memperbanyak diri sendiri dan mampu berdiferensiasi menjadi sel lain.

Baca juga: Mahasiswa, Begini Peran Spesialis Kedokteran Olahraga bagi Atlet

Teliti sel punca

Selain itu juga dapat bekerja melalui sekresi berbagai sitokin dan mampu berinteraksi dengan berbagai sistem imun.

"Pemberian sel punca secara eksogen diyakini dapat mengatasi berbagai proses yang terjadi pada penuaan seperti deplesi sel punca dan inflamasi kronik," ujar Adisti dalam sidang promosi doktor yang dilakukan secara virtual seperti dikutip dari laman UI, Senin (16/8/2021).

Dia menerangkan, masih sedikit hasil uji klinis yang berfokus pada terapi sel punca. Sehingga kinerja terapi ini belum dipahami sepenuhnya. Sehingga belum diketahuinya cara penggunaan sel punca secara baik sebagai krim antipenuaan.

Adistis menjelaskan, pada proses penuaan terjadi beberapa peristiwa seperti telomer yang memendek, fungsi motorik menurun, stres oksidatif yang meningkat dan sitokin pro-inflamasi yang meningkat.

Baca juga: Tertarik Kuliah di Vietnam Gratis? Buruan Daftar Beasiswa TDTU

Namun, mekanisme terjadinya indikator tersebut belum diketahui dengan jelas caranya. Selain itu dia juga meneliti efek dari pemberian sel punca mesenkimal terhadap indikator penuaan tersebut yang terjadi pada tikus betina dan jantan yang sudah tua.

Diujicobakan pada tikus tua

Adisti menerapkan efek antipenuaan percobaan sel punca ini terhadap hewan uji coba tikus tua, dengan beberapa parameter klinis seperti stres oksidatif, inflamasi, hormon reproduksi, panjang telomer, serta ekspresi antibodi antimanusia pada jaringan hati dan ginjal.

Hewan tikus yang digunakan adalah tikus Sprague-Dawley yang berusia sekitar dua tahun dimana kondisi jaringan tubuh tikus tersebut sama dengan jaringan tubuh manusia berusia 60 tahun.

Dalam penelitiannya, tikus disuntikkan SPM-KUM sebanyak empat kali dengan jarak interval setiap tiga bulan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan selama satu tahun, Adisti mendapati tampilan fisik luar pada tikus tampak masih baik dimana tikus masih mampu berdiri, dan berjalan dengan baik, selain itu efek kelainan yang ditimbulkan juga minim.

Baca juga: Mahasiswa Unsoed Ciptakan Inovasi Granul Effervescent Buah Ciplukan

SPM-KUM mampu hambat proses penuaan

Tikus tersebut juga mengalami penundaan kematian hingga dua minggu lebih lambat dibanding tikus yang tidak disuntik (hewan kontrol).

Adisti bisa menyimpulkan, SPM-KUM ternyata mampu menghambat proses penuaan. Penghambatan penuaan tersebut lebih efektif pada tikus betina dibandingkan dengan tikus jantan.

Penghambatan proses penuaan akibat pemberian SPM-KUM berasal dari efek parakrin yang kerjanya berkeliling di sekitar sel punca, bukan karena proses diferensiasi di jaringan.

Walaupun begitu, pihaknya tetap memberi saran agar dilakukan uji klinis yang lebih intensif pada manusia dengan pemeriksaan biomarker lebih lengkap untuk mengetahui efek penggunaan sel punca.

Baca juga: Anak Usaha Dexa Group Buka Lowongan Kerja Lulusan SMA dan S1

Selain uji klinis intensif, diperlukan pula pengujian yang lebih intensif terhadap mekanisme bekerjanya efek parakrin tersebut.

"Agar penelitian sel punca ini dapat benar-benar bermanfaat, diperlukan uji klinis terhadap yang lebih detail dan lengkap terhadap efek dan mekanisme penggunaannya, sebelum dipergunakan secara luas di masyarakat," tandas Adisti.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com