Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dinda Lisna Amilia
Dosen

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Menjadi Jurnalis dan Media yang Kritis

Kompas.com - 16/08/2021, 15:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENJADI jurnalis, pekerjaannya bukan cuma sekadar juru ketik. Ada rangkaian kegiatan substansial yang harus dilalui oleh jurnalis, tahapan demi tahapan.

Mereka, para jurnalis ini, harus melewati tahapan dalam waktu terbatas. Biasanya kita menyebutnya dengan nama deadline alias tenggat waktu.

Durasi tenggat waktu ini bergantung dari setiap medianya. Media cetak harian, pada umumnya, memberi target minimal 3 berita perhari. Media daring bisa 7-10 berita perhari.

Untuk memenuhi kewajiban tersebut bisa dibayangkan bagaimana para jurnalis harus membuat perencanaan berita apa saja yang memungkinkan dibuat dalam satu hari supaya memenuhi target.

Sebab dalam sehari tidak mungkin hanya mengandalkan kejadian yang terjadi pada hari itu saja. Oleh sebab itu, mengetik berita adalah proses paling akhir, karena sebelumnya, proses perencanaan hingga eksekusi menjadi bagian esensial yang harus dilalui para jurnalis.

Dalam proses perencanaan ini haruslah matang. Jurnalis dituntut untuk paham dengan isu yang akan digarap. Otomatis, jurnalis dituntut untuk riset dan banyak baca, khususnya terkait desk liputan yang menjadi tugasnya. Harapannya, tentu saja supaya bisa jernih dan kritis dalam melihat suatu masalah.

Lebih spesifik lagi, dalam proses wawancara dengan narasumber, jurnalis harusnya bisa memberikan pertanyaan kritis atau merespons dengan umpan balik yang tajam. Jadi tidak sekadar menjadi pasif karena tidak menguasai materinya, atau karena hal lainnya.

Kondisi pasif para jurnalis ini, sayangnya memang terjadi. Mereka hanya menerima informasi dari narasumber untuk dijadikan berita dengan sudut pandang yang terlalu "apa-adanya".

Salah satu contohnya, kita coba menggunakan bantuan google untuk mencari berita-berita normatif yang dibuat para jurnalis.

Hasil pencarian menggunakan kata kunci "Pemerintah Berencana" dengan 15.400.000 hasil. "Pemerintah akan" dengan total 221 juta hasil pencarian. "Pemerintah Berjanji" dengan 5,430,000 hasil. "Pemerintah menetapkan" totalnya 33.600.000 hasil. Serta "Pemerintah Menghimbau" dengan total 4.470.000 hasil.

Pilihan diksi-diksi di atas untuk dijadikan judul tersebut memberikan kesan bahwa jurnalis seolah hanya penyambung lidah pemerintah. Yang seharusnya terjadi, jurnalis harus memainkan perannya sebagai watchdog atau anjing penjaga, bukan sebagai anjing peliharaan.

Fenomena ini, sebenarnya sudah lama terjadi. Hanya saja dulu belum semudah sekarang untuk membuktikannya.

Perspektif kritis

Untuk melihat masalah ini secara proporsional, saya pun berdiskusi dengan seorang kawan baik yang masih menjadi jurnalis di salah satu media yang dimiliki oleh konglomerat yang juga mendirikan partai politik. 

Kawan saya tersebut memberikan argumennya. Bahwa sebagai mahluk hidup yang realistis, jurnalis terkadang juga manusia biasa.

Argumen pertama, bisa jadi dalam sehari seorang jurnalis menulis semua berita dengan sudut pandang kritis. Ini artinya hari sedang mujur.

Banyak berita yang bisa disajikan dengan perspektif kritis. Sebab, ada juga berita yang lebih cocok disajikan dengan "apa adanya seperti itu".

Contohnya ketika pemerintah memperpanjang pelaksanaan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga 9 Agustus.

Alih-alih menambahkan kritik, menurut kawan saya ini, dalam beritanya lebih baik dituliskan informasi penting yang lebih detail.

Misalnya, daerah mana saja yang mendapatkan penurunan level PPKM, dan apa pertimbangan pemerintah dalam keputusan tersebut.

Nanti, bila ada celah dari keputusan tersebut, bisa diolah untuk berita lain. Jadi, sekali liputan, dua sampai tiga berita didapat. 

Argumen kedua adalah kondisi internal media. Yang ini lebih kasuistik. Ada media yang memilih tidak terlalu kritis pada isu-isu tertentu. Bisa terkait dengan sikap suatu media, atau terkait dengan kepentingan politik media itu.

Kembali pada argumen kedua kawan saya tersebut bahwa media tempatnya bekerja tidak terlalu tajam dalam mengkritisi berita-berita korupsi yang banyak terjadi (sepanjang tahun).

Apakah ini ada kaitannya antara pemilik media yang juga adalah politisi dan menjadi subordinasi pemerintah?

Kalau dihitung-hitung, hanya ada dua pemilik media yang juga mendirikan parpol, tapi dua orang tersebut tidak hanya memiliki satu media, tapi semuanya punya media yang bercabang-cabang.

Dua argumen kawan saya di atas belum mewakili alasan keseluruhan mengapa jurnalis memilih sudut pandang "apa adanya" dalam menulis berita.

Namun paling tidak kita bisa melihat faktor yang melemahkan daya kritis para jurnalis tersebut. Padahal bila kita coba tengok rumus Sembilan Elemen Jurnalisme karya Bill Kovach-Tom Rosenstiel, kita akan diingatkan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah memihak pada kebenaran.

Prinsipnya, kebenaran yang simpel saja yang berdasar pada fakta. Jadi, kalau misalnya ada koruptor yang diberi diskon hukuman maka media harus menunjukkan keberpihakannya dengan memberi ruang pada jurnalisnya untuk menulis kritik atas diskon tersebut.

Sebab loyalitas pertama jurnalisme adalah pada masyarakat. Jurnalis harus memiliki kebebasan dari sumber yang diliput, bisa mengemban tugas pemantau yang bebas terhadap kekuasaan, dan yang paling penting, jurnalis diberi kewenangan untuk mengikuti hati nuraninya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com