Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Implementasi Cyber Leadership Perguruan Tinggi di Tengah Pandemi Covid-19

Kompas.com - 14/08/2021, 13:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAI institusi yang melahirkan generasi masa depan, sudah seharusnya perguruan tinggi beradaptasi dengan perkembangan zaman. Baik itu kurikulum maupun cara belajar harus selalu diperbarui agar relevan dengan zaman.

Akan tetapi, dalam riset KPMG pada tahun 2020, mendeklarasikan bahwa era keemasan perguruan tinggi sudah selesai. Ini menarik karena dari sudut pandang KPMG, alasan zaman keemasan perguruan tinggi selesai adalah permasalahan finansial.

Biaya yang tinggi dan utang siswa yang meningkat menjadi beberapa alasannya. Namun, kritik lain yang menurut saya menyebabkan perguruan tinggi menurun kualitasnya diutarakan oleh Yuval Noah Harari dalam bukunya 21st Lesson for 21st Century mengatakan bahwa pendidikan masih berjalan tradisional, belum sepenuhnya berfokus pada penumbuhan kompetensi mahasiswa.

Fenomena ini menjadi tantangan bagi pemimpin di perguruan tinggi untuk tetap menjaga institusi pendidikan tinggi tetap relevan. Namun, sebelum para leaders dan pimpinan di perguruan tinggi punya kesempatan untuk merombak sistem secara keseluruhan, pandemi menyambut terlebih dahulu di tahun 2020.

Kedatangan pandemi ini ‘memaksa’ perguruan tinggi untuk berinovasi, tidak bisa lagi menerapkan cara tradisional, dan mengubah seluruh sistem pendidikan mereka secara simultan juga menyelesaikan masalahnya di saat yang bersamaan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Sederhananya, perguruan tinggi secara progresif harus mengintegrasikan teknologi digital ke dalam sistem pendidikan mereka.

Cyber Leadership di Era Pandemi

Pandemi Covid-19 memberikan tantangan yang luar biasa bagi perguruan tinggi. Tahun 2021, hampir semua perguruan tinggi yang berjumlah 4.500 lebih dari ujung Barat hingga Timur Indonesia diminta serentak berbenah dan berubah dalam melaksanakan praktik kegiatan belajar mengajar.

Belum lagi, terdapat 190.000 lebih dosen yang turut mengubah kebiasaan dalam mengajar dan berinteraksi dengan peserta didiknya, baik dari aspek teknis ataupun pedagoginya.

Mereka harus berubah, secara spontan menerapkan proses pembelajaran digital dan bagaimana membangun kurikulum yang tetap relevan di situasi “extreme uncertainty” seperti saat ini. Terlebih, dengan tekanan untuk menciptakan generasi masa depan yang unggul, perguruan tinggi berada pada posisi yang cukup pelik.

Oleh karena itu, peran pemimpin sangat dibutuhkan agar perguruan tinggi bisa keluar dari situasi yang tidak menyenangkan ini.

Pemimpin perguruan tinggi perlu mengubah gaya kepemimpinannya ke cyber leadership. Di era teknologi saat ini, praktik cyber leadership menjadi sangat penting.

Leaders harus engage dengan permasalahan ini, terlebih semua pekerjaan dan aktivitas dipindahkan ke ranah digital.

Aaron Pritz dalam artikelnya di Forbes yang berjudul Cybersecurity is not Best Left to the Experts: Business Leaders Guide mengatakan bahwa ketika kita mengatakan masalah cyber dan teknologi ini lebih baik diserahkan kepada ahlinya, itu menjadi sinyal bahwa leaders tidak memiliki minat dalam hal ini.

Dia menyebutkan, ada empat ciri-ciri di mana leaders tidak begitu peduli dengan masalah cyber: terlalu menyederhanakan isu sehingga membuat keputusan singkat, lalu membeli alat-alat terbaru dan membayar konsultan untuk memasangnya, membayar asuransi dan berharap tak menggunakannya, terakhir adalah mendelegasikan dan menyerahkan tugas-tugas teknologi kepada teknisi IT. Menurut Aaron, itu tidak akan menyelesaikan masalah cyber apapun.

Oleh karena itu, terlebih dalam konteks perubahan digital di masa pandemi, leaders harus cerdik dalam menyusun strategi, menemukan permasalahan, dan di atas itu semua, menanyakan hal-hal penting terkait gap informasi yang terjadi dalam institusi. Bagaimana mereka menanganinya membutuhkan strategi yang adaptif dan matang dalam perencanaan.

Dengan begitu, leaders bisa memanfaatkan kesempatan dalam melakukan transformasi digital. Pemimpin perguruan tinggi sekarang harus menjadi seorang cyber leadership yang handal.

Berbicara soal kesempatan melakukan transformasi digital, studi dari Inside Higher Ed dan Hanover Research 2021 menemukan bahwa 82% persen perguruan tinggi setuju bahwa pandemi memberikan kesempatan untuk membuat perubahan baru terhadap institusinya.

Selain itu, melihat keuntungan yang didapatkan, sebenarnya teknologi digital sangat membantu perguruan tinggi untuk mengakselerasi kualitas dan sistem pendidikan mereka.

Riset dari Liesa-Orús, dkk (2020) yang meneliti bagaimana persepsi 345 Profesor terhadap alat-alat Iptek menemukan bahwa teknologi memiliki dampak positif dalam pembelajaran dan pengembangan.

Oleh karena itu, di masa pandemi ini, salah satu hal yang harus dilakukan adalah membuat grand design transformasi digital. Transformasi ini perlu karena pandemi membatasi ruang gerak untuk melakukan cara-cara tradisional. Namun, para cyber leaders di perguruan tinggi menemukan tantangan yang cukup pelik.

Misalnya, menurut penuturan Rektor Universitas Kristen Petra, Prof. Djwantoro Hardjito, melakukan transformasi digital memiliki tantangannya tersendiri. Dia menjelaskan, ada dua tantangan yang dihadapinya ketika berusaha menerapkan grand design transformasi digital.

Tantangan pertama adalah sumber daya manusia di mana tidak banyak yang berkompeten dalam menerapkan teknologi secara penuh. Tantangan berikutnya adalah membuat budaya kerja digital yang tentu membutuhkan waktu yang lama agar semua pegawai di universitas bisa beradaptasi dengan itu. Situasi ini menimbulkan tantangan yang pelik.

Di lain pihak, Dekan FIKOM Universitas Padjajaran, Dr. Dadang R. Hidayat memiliki pandangan lain soal transformasi digital. Ia mengatakan bahwa sebenarnya teknologi sudah ada di lingkungan kampus.

Namun, menurutnya, teknologi masih menjadi sebatas gaya hidup bukan untuk memenuhi aspek fungsional dalam menjalankan tugas institusi. Sehingga, untuk bertranformasi, dibutuhkan perubahan paradigma menjadi digital functional culture.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com