Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Unair: Penderita Obesitas Hindari Asal Minum Vitamin D Saat Pandemi

Kompas.com - 19/07/2021, 20:00 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

 

KOMPAS.com - Ada hubungan kurang baik antara Vitamin D dan obesitas yang harus diketahui oleh penderitanya. 

Alumnus Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga tahun 1992, Henry Suhendra mengatakan jika dikaitkan dengan vitamin D, orang-orang dengan obesitas tinggi lebih rentan terinfeksi Covid-19.

Artinya, masyarakat yang memiliki riwayat obesitas perlu memperhatikan asupan vitamin D di situasi pandemi ini.

Alasannya, karena kandungan Vitamin D pada tubuh penderita berat badan berlebih hanya sekitar 50 hingga 70 persen dari pada orang-orang dengan tubuh ramping.

Baca juga: Peneliti IPB Temukan Minuman Penurun Gula Darah Berbasis Rempah

Pada orang-orang dengan obesitas tinggi, Vitamin D yang seharusnya larut dalam lemak lebih banyak terperangkap dalam lemak.

Sehingga yang tersisa pada pembuluh darah hanya sedikit. Tentu saja hal ini berbahaya bila dibiarkan dan diabaikan.

“Yang bisa dipakai kan Vitamin D di pembuluh darah, baru dibawa ke organ-organ. Jadi semakin tebal lemak seseorang, Vitamin D akan semakin banyak tersimpan di lemak dan jadinya useless,” jelasnya, dilansir dari laman Unair.

Namun sebaliknya, Vitamin D yang tinggi sangat baik untuk metabolisme otot. Untuk itu konsumsi vitamin D memang diperlukan. 

Setiap kali terjadi kerusakan otot, Vitamin D diperlukan untuk perbaikan. Sebab, tidak cukup hanya dengan protein.

Ia juga mengatakan, untuk mengetahui asupan atau kadar Vitamin D dalam tubuh telah optimal atau belum diperlukan kontrol terhadap sejumlah aspek lain.

Baca juga: Pakar IPB: Tanaman Obat Ini Berpotensi Anti-radang dan Tingkatkan Imun

Seperti kalsium dalam darah; kalsium pada urine; serta hormon yang dikeluarkan oleh paratiroid.

Ia menjelaskan, ada beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan Vitamin D agar optimal.

Salah satunya yakni berjemur di panas matahari atau mengonsumsi suplemen Vitamin D.

Untuk mendapatkan Vitamin D terbaik selama berjemur, Henry menyarankan memilih waktu antara jam 11 hingga 1 siang.

Hal tersebut sesuai dengan hasil riset dari salah satu peneliti asal Boston yang datang ke Indonesia pada 2011 lalu.

“Jam berjemur paling optimal, di mana kadar Ultraviolet B maksimum didapat bukanlah pagi hari, melainkan pada jam 11 hingga jam 1 siang,” tandasnya.

Selain itu, lanjut dia, setidaknya 85 persen tubuh harus terpapar sinar matahari secara langsung.

Sebab, jika terhalang baju atau objek lainnya, yang didapat tubuh hanya Ultraviolet A yang tidak membentuk Vitamin D.

Sementara itu, dr. Henry menyampaikan, lama waktu berjemur juga dipengaruhi oleh tipe kulit. Dari enam tipe kulit yang berbeda, mayoritas orang Asia Tenggara berada di urutan 4 dan 5.

Baca juga: Covid-19 Varian Lambda Muncul, Ini Kata Pakar Unair

“Kita kalau jemur rata-rata perlu tiga sampai empat kali lebih banyak daripada bule-bule untuk mendapatkan Vitamin D yang sama. Itu susah, makanya bisa kita ganti juga dengan suplemen,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com