KOMPAS.com - Karena tuntutan kaidah ekonomi yang menyatakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) akan naik jika Angka Partisipasi Sekolah naik, maka Soeharto segera membuat Inpres SD yang menghasilkan peningkatan signifikan angka partisipasi SD/MI nyaris mencapai 99 persen.
Artinya, nyaris tak ada anak usia sekolah yang tidak bersekolah. Orde Baru diteruskan Orde berikutnya sukses menggapai tujuan menyediakan akses.
Namun sejak usai reformasi, sesudah ikuti uji TIMSS (Trend for International Math and Science Studies) berpindah ikut uji PISA OECD, maka Indonesia mulai mengetahui prediksi kompetensi dasar membaca, sains dan matematika muridnya yang berusia 15 rahun. Di awal, tenang-tenang saja meski terlihat jeblok.
Ketika setiap 3 tahun diuji dan hasilnya begitu-begitu saja, entah mengapa kebijakan yang tertulis dalam RPJMN masih saja fokus ke APM.
Memang IPM Indonesia merangkak naik, namun tak sejalan dengan kompetensi dasar yang naik mendatar dan sesudah belasan tahun cenderung menurun. Puncaknya adalah pada tahun 2018 (hasil uji PISA terakhir), skor Indonesia kembali ke-18 tahun yang lalu saat pertama kali ikut.
Baca juga: Menyoal Hilangnya Indonesia pada Kurikulum
Betul sekali bahwa PISA tidak bisa dijadikan ukuran mutlak, namun ojektivitas dan kehandalan prediksi ilmiah dari uji seperti PISA tidak perlu diragukan karena fakta juga membuktikan beberapa uji sejenis produk LN (AusAid Kemenag), campuran (RISE-Smeru) dan murni lokal (INAP/AKSI Balitbang) memperoleh hasil yang mendukung hasil PISA.
Ketika beberapa video viral yang menunjukkan rendahnya kompetensi siswa SMK yang gagal menjawab 1/4 + 1/4 masyarakat pun mulai tersentak.
Jadi, selama ini fokus kebijakan pemerintah hanyalah memberi akses. Ibarat makan, yang penting kenyang. Apakah yang dimakan nanti menyehatkan atau tidak, itu lain perkara.
Karena "IPM" yang diukur adalah jumlah mulut manusia yang makan, bukan jumlah yang sehat sesudah makan. Akhirnya, naiknya akses yang diupayakan pemerintah tak sejalan dengan kenaikan mutu atau kompetensi murid. Inilah "Fault" pertama.
Lantas apa yg sudah dilakukan pemerintah menjawab persoalan itu, sesudah berpuluh tahun tenang -tenang saja karena merasa semua baik baik saja (komplasensi)?
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.