Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tentukan Pilihanmu
0 hari menuju
Pemilu 2024
Kompas.com - 31/05/2021, 15:08 WIB

KOMPAS.com - Apakah kamu pernah melihat ibu-ibu yang menggendong bakul berisikan botol-botol jamu? Menggunakan kebaya Jawa, dengan kain batik yang melilit di pundaknya. Kadang mereka sambil berteriak, "jamu...jamu..".

Ternyata, jamu gendong sudah ada sejak masa kerajaan Hindu-Buddha. Penasaran seperti apa sejarah jamu gendong? Ini dia sejarahnya dilansir dari laman Direktorat SMP Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek):

Jamu, minuman warisan leluhur

Kata jamu berasal dari bahasa Jawa kuno, yaitu jampi atau usodo. Jampi atau usodo memiliki arti penyembuhan menggunakan ramuan obat-obatan atau doa-doa. Istilah jampi banyak ditemukan pada naskah kuno, seperti pada naskah Gatotkacasraya yang ditulis oleh Mpu Panuluh dari Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya.

Baca juga: Akademisi IPB Ungkap 30.000 Tanaman Bisa Dijadikan Bisnis Jamu

Jamu merupakan warisan leluhur yang sangat berharga. Minuman ini telah memegang peranan penting dalam pemeliharaan kesehatan dan kebugaran masyarakat nusantara sejak ratusan tahun silam.

Secara sederhana, jamu dapat juga disebut sebagai obat herbal asli Indonesia yang diracik menggunakan bahan-bahan alami untuk menjaga kesehatan dan juga menyembuhkan penyakit. Bahan-bahan yang digunakan cukup mudah ditemukan di lingkungan seperti daun, rimpang, batang, buah, bunga, dan kulit batang.

Jamu sendiri memiliki beberapa jenis, mulai dari yang berbentuk kapsul, tablet, sachet, hingga tradisional seperti jamu gendong. Dari berbagai jenis tersebut, jamu tradisional atau yang lebih dikenal dengan jamu gendong masih digemari masyarakat dari bermacam kalangan.

Arti dari menggendong bakul jamu

Jamu gendong adalah jamu hasil produksi rumahan (home industry). Jamu ini dijajakan dengan cara memasukkannya ke dalam botol-botol. Kemudian, botol-botol ini disusun secara rapi di dalam bakul. Setelah itu, penjual jamu akan menggendong bakul yang berisi jamu tersebut saat berjualan. Itulah sebabnya, jamu ini dikenal sebagai jamu gendong.

Baca juga: Peneliti IPB: Tanaman Herbal Ini Berkhasiat Redakan Asam Urat

Biasanya para penjual jamu gendong memasarkan dagangannya dengan cara berkeliling setiap hari. Penjual jamu gendong kebanyakan adalah kaum hawa. Hal ini karena dahulu tenaga laki-laki lebih diperlukan dalam bidang pertanian.

Hal yang membuat menarik dari jamu gendong adalah cara membawa barang dagangannya, yaitu digendong menggunakan kain batik, jarik, dan sebagainya. Ini adalah ciri khas perempuan Jawa dari dulu, bahkan sampai saat ini. Tidak hanya jamu, dagangan lain seperti pecel, nasi liwet, dan aneka jajanan juga sering dijajakan dengan cara digendong.

“Menggendong” memiliki arti dan makna tersendiri. Menggendong identik dengan seorang ibu yang memomong anak kecil. Jadi, perempuan Jawa menggendong barang dagangannya (rezeki) seperti membawa anak kecil yang harus dilakukan dengan lemah lembut dan telaten.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+