Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akademisi Unair Soroti Aturan Larangan Mudik

Kompas.com - 16/05/2021, 18:22 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Albertus Adit

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Selama Lebaran 2021, pemerintah mengeluarkan aturan larangan mudik dari tanggal 6 hingga 17 Mei 2021.

Ini tahun kedua masyarakat Indonesia belum bisa mudik seutuhnya selama lebaran. Apalagi, mudik melalui jalur darat, udara dan laut juga dibatasi. 

Upaya penyekatan di berbagai titik juga dilakukan untuk membatasi pergerakan masyarakat untuk pulang kampung merayakan Idulfitri 2021.

Hal ini, sebetulnya demi menjaga masyarakat agar tidak menyebabkan perluasan transmisi Covid-19 serta menjaga kemananan masing-masing warga dari serangan virus. 

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Bagong Suyatno menyebut, larangan mudik tersebut sangat wajar ditentang masyarakat.

Baca juga: 5 Cara Ajarkan Anak Bijak Mengelola Angpau Lebaran

Sebab larangan pada saat ini, kata dia, justru serupa pancingan bagi masyarakat untuk melanggar.

Orang tentu rela mengeluarkan uang dan bercapek-capek untuk bisa mudik. Bahkan harta tiket yang mahal pun siap ditebus demi pulang ke kampung halaman.

Beberapa penyedia jasa transportasi pun rela membawa penumpang gelap bisa melewati perbatasan wilayah. 

"Karena, reward sosialnya itu orang dapat merasakan langsung,” ujar Bagong dilansir dari laman Unair.

Artinya, disaat masyarakat berhasil mudik, maka itu merupakan pencapaian atau reward baginya. Namun pemerintah, kata dia, memang sudah seharusnya mengeluarkan larangan tersebut guna menekan penularan Covid-19.

Larangan mudik saat ini bukan perihal membatalkan kegiatan mudik oleh masyarakat. Pemerintah harus mampu membantu mencari alternatif mudik bagi masyarakat.

Misalnya dengan mencari alternatif atau bentuk lain dari mudik yang bisa dilakukan masyarakat. Hal itu guna pengganti ritual mudik bepergian, agar tak ada pertemuan secara langsung.

“Sebagai pengganti mudik, masyarakat bisa menyiasatinya dengan mudik melalui teknologi, seperti keliling di grup-grup Whatsapp, telepon, atau bahkan video call,” tegas Bagong.

Mudik sendiri merupakan sebuah tradisi setahun sekali yang telah mengakar di Indonesia.

Dengan diberlakukannya larangan mudik, pelanggar aturan tidak boleh dinilai sebagai pelanggar hukum, tapi lebih dipahami sebagai resistensi.

“Saya lebih setuju bahwa itu dipahami sebagai bentuk resistensi masyarakat. Bukan dinilai sebagai pelanggar hukum, lalu disanksi. Mudik akan membunuh orang tuamu, slogan dari kampanye Pak Doni itu betul. Sekarang, tinggal masing-masing dari pribadi masyarakat Indonesia saja apa mereka ingin membahayakan atau tidak, toh mereka sudah tahu risikonya," pungkas Bagong.

Baca juga: Pakar IPB: Jelang Lebaran, Kenali Ciri Daging Oplos dan Ayam Tiren

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com