Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 15/05/2021, 09:24 WIB
Sandra Desi Caesaria,
Albertus Adit

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang diwajibkan bagi pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sempat ramai turut direspon oleh akademisi dari Pusat Studi Pancasila Universitas Gajah Mada (UGM).

Kepala Pusat Studi Pancasila UGM Profesor Agus Wahyudi, menyebut konten serta intensi tes wawasan kebangsaan bagi pegawai KPK perlu dievaluasi.

Meski demikian, menurutnya publik juga tidak bisa langsung percaya dengan teori yang menyebutkan bahwa di balik penyelenggaraan tes ini terdapat persekongkolan lembaga-lembaga pemerintah untuk melemahkan KPK atau secara khusus menarget individu tertentu agar tidak lagi berada di KPK.

Baca juga: Guru Besar UNS: Pegawai KPK Penting Miliki Integritas

“Tidak berarti kita bisa menyetujui pengertian bahwa ada rekayasa atau niat jahat dari penyelenggara apalagi keseluruhan pemerintahan seperti yang dikatakan oleh sejumlah kritikus bahwa lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif berkolaborasi atau bersengkongkol untuk melemahkan KPK,” terangnya dilansir dari laman UGM. 

Menurut Agus, teori konspirasi semacam ini terkadang dianggap paling mudah menjelaskan peristiwa yang rumit atau pelik dan melibatkan aktor-aktor yang tidak terlihat.

“Teori konspirasi adalah teori bagi orang-orang yang malas berpikir serius dan memahami cara bekerja sesuatu secara akurat dan apa adanya,” ucapnya.

Dalam keterangan resmi KPK, pelaksanaan asesmen Tes Wawasan Kebangsaan oleh KPK untuk pengalihan status pegawai menjadi ASN dikatakan merupakan amanat dari UU No. 19/2019 dan PP No. 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN serta Peraturan KPK No. 1/2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN.

Tes ini diselenggarakan oleh KPK bekerja sama dengan BKN dan diikuti sebanyak 1.351 pegawai KPK. Dalam tes ini, sebanyak 75 orang dinyatakan tidak memenuhi persyaratan TWK.

Sejumlah media massa mengangkat isu ini beserta pandangan sejumlah pihak bahwa pertanyaan-pertanyaan dalam tes seperti pertanyaan tentang doa qunut atau LGBT dianggap aneh dan tidak normal.

Selain itu, terdapat indikasi kuat bahwa aspek penjaminan mutu untuk konten dan pelaksanaan tes tidak terjaga atau tidak profesional. Agus menilai, diperlukan pengkajian yang serius terhadap instrumen tes ini.

Baca juga: Mahasiswa ITS Bagikan Tips Memulai Bisnis

“Perlu kehati-hatian, dan tidak seharusnya dipolitisasi,” kata Agus.

Menurutnya tes yang dibutuhkan bagi pegawai KPK adalah jenis tes keahlian dalam bidang khusus yang akan menentukan profesionalitas dalam bidang pekerjaannya.

Komitmen pada konstitusi termasuk dasar negara dan prinsip-prinsip kebangsaan bisa diwujudkan dalam kontrak yang dapat diperbaharui setiap beberapa tahun, dan tidak harus dalam bentuk tes kemampuan.

“Saya tidak tahu apakah tes wawasan kebangsaan yang dipergunakan untuk tes pegawai KPK saat ini relevan untuk itu, dan apa pertimbangannya,” ungkapnya.

Untuk menilai kualitas tes yang digunakan, lanjut Agus, memang diperlukan kajian dan sejumlah waktu. Namun, secara umum tes screening ideologis seperti yang terjadi di zaman Orde Baru seharusnya tidak lagi diperlukan.

“Cara berpikirnya perlu diubah. Komitmen ideologis bentuknya sebaiknya kontrak tertulis, bukan berupa tes. Pelanggar kontrak kelak bisa diberi sanksi misalnya oleh atasannya,” imbuhnya.

Baca juga: Epidemiolog UGM: Tes Acak Pemudik Tak Bisa Jadi Bahan Rujukan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com