Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Pandemi Belum Berakhir, Bagaimana Keberlanjutan Perguruan Tinggi Swasta?

Kompas.com - 03/05/2021, 12:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Frangky Selamat | Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Tarumanagara

KOMPAS.com - Pandemi telah menghantam hampir semua aspek kehidupan manusia. Kerugian material di sektor usaha sudah tak terbilang lagi. Demikian pula dunia pendidikan tidak luput dari terpaan ini.

Perguruan tinggi swasta (PTS) Indonesia pun merasakan dampak yang sungguh luar biasa. Tidak cuma soal proses pembelajaran yang berubah tetapi sisi ekonomi yang berkaitan langsung dengan operasional kampus.

Sejumlah PTS dilaporkan mengalami penurunan jumlah mahasiswa. Mahasiswa baru yang mendaftar berkurang setidaknya 10 persen dari kondisi normal. Bahkan ada yang lebih dari itu.

Sebuah PTS terkemuka di Yogyakarta misalnya. Pada 2019 mahasiswa yang terdaftar berjumlah 24.337 orang, sementara pada 2020 tersisa 20.700 orang.

Baca juga: Siapkan Pembukaan Kampus, LLDikti Tunjuk 8 PTS Jadi Sentra Vaksinasi

Alasan mahasiswa mundur

Mahasiswa lama tidak sedikit yang mengundurkan diri dengan sejumlah alasan.

Pertama, alasan klasik, yaitu ekonomi. Gangguan ekonomi keluarga sehingga tidak mampu membiayai kuliah memaksa mahasiswa bekerja dan berhenti kuliah. Masih ada yang sekadar cuti, menunda kuliah sambil berharap bahwa kondisi di semester berikutnya akan lebih baik.

Kedua, merasa kuliah tidak memberikan harapan masa depan yang lebih baik. Bekerja dirasa lebih memberikan kejelasan dan tentunya penghasilan, tidak dengan kuliah yang “menghabiskan” uang, untuk sesuatu yang dianggap belum jelas prospeknya.

Ketiga, kuliah dianggap tidak berguna karena sulit dipahami dan malah hanya membuat makin stres. Ada orang tua yang mengeluh anaknya tidak dapat mengikuti pelajaran karena pembelajaran daring.

Pelajaran yang menuntut kehadiran dosen di kelas luring, belum dapat dipenuhi saat ini, membuat sang anak frustrasi dan memilih berhenti.

Masalah finansial, merasa tidak berguna, stres, menjadi problem utama yang dihadapi mahasiswa, sehingga memilih untuk tidak berkuliah dulu saat ini. Tinggal PTS yang sebagian besar mengandalkan pemasukan utama dari uang kuliah mahasiswa kelimpungan.

Untuk mempertahankan mahasiswa lama, sebagian memberikan keringanan pembayaran, walau belum memberikan jaminan bahwa mahasiswa akan terus melanjutkan studi.

Gaji dosen dan tenaga kependidikan tetap dibayar, walau sejauh ini belum ada kabar resmi yang tersebar, walau telah ada selentingan cerita tentang pemotongan atau penundaan pembayaran sebagaimana dunia usaha yang terdampak pandemi.

Bagi PTS dengan segmen mahasiswa dari keluarga menengah ke bawah, tantangan ini tidak mudah. Sementara PTS mapan dengan segmen dari keluarga menengah ke atas, bukannya tanpa gangguan.

Penurunan jumlah mahasiswa yang terdaftar, dalam jangka menengah dan panjang, bisa menjadi masalah serius.

Menghadapi kondisi ini, pengelola PTS bukan tinggal diam. Bagaimana pun juga PTS harus menghidupi dirinya sendiri. Kondisi yang mendadak berubah tentu tidak bisa beradaptasi dengan cepat.

Sejumlah kalangan menekankan perlunya PTS bertransformasi, agar tidak melulu bergantung pada pemasukan dari uang kuliah mahasiswa.

Sekalipun demikian, PTS Indonesia tidak perlu merasa sendiri karena sejumlah perguruan tinggi di luar negeri pun masih bergantung pada uang kuliah mahasiswa.

Baca juga: PBKP Untar Beri Pendampingan Persiapan Kerja bagi Atlet Disabilitas Intelektual

 

Di Malaysia mayoritas universitas swasta mengaku kehilangan pemasukan dan diperkirakan sebanyak 44 persen terancam bangkrut.

Tidak hanya itu. Ada perguruan tinggi yang bergantung pada mahasiswa asing. Ketika pembatasan pergerakan masih diberlakukan, hampir mustahil menghadirkan mahasiswa asing ke kampus seperti sediakala.

Pembelajaran daring tidak menjadi daya tarik. Mereka pun juga kelabakan.

Langkah darurat

Menanggapi situasi darurat yang dihadapi hampir seluruh perguruan tinggi di dunia, Deshmukh (2020) dalam papernya yang berjudul “Speculations on Post-Pandemic University Campus – a Global Inquiry” mengemukakan sejumlah langkah yang dapat diambil kampus dalam 100 hari ke depan.

Terdapat tiga hal yang relevan dengan kampus di Indonesia.

Pertama, mempertimbangkan untuk menyediakan kelas outdoor. Pandemi telah memaksa orang untuk memperbanyak kegiatan outdoor ketimbang indoor, dalam ruangan tertutup dan berpendingin udara. Perkuliahan outdoor menjadi alternatif yang dapat dilakukan.

Jika harus dilakukan indoor, desain ruang yang memperhatikan ventilasi udara yang baik menjadi perhatian utama.

Kedua, menggunakan kelas dengan jumlah mahasiswa terbatas. Sejumlah kampus terkemuka dunia barangkali sepakat bahwa kampus hanya dihadiri maksimal 20 persen dari warga kampus.

Konsekuensinya adalah kelas dengan sedikit mahasiswa. Kelas-kelas kecil menjadi pilihan utama.

Ketiga, melakukan inovasi dalam penjadwalan perkuliahan. Jam kuliah tidak dapat lagi dilakukan secara serentak apalagi dalam jumlah mahasiswa yang banyak hadir di kampus. Inovasi penjadwalan kuliah bagi kampus besar merupakan tantangan tersendiri.

Tidak mudah, tetapi harus dijalankan.

Kampus sesudah pandemi

Lebih lanjut Deshmukh (2020) mengemukakan bahwa jika diimajinasikan kembali, kampus di masa sesudah pandemi adalah kampus yang ramping tanpa sekat-sekat departemen.

Ini berarti diperlukan perampingan organisasi yang berujung pada efisiensi, tanpa mengurangi kelancaran operasional kampus.

Model pembelajaran juga akan tetap hibrid yaitu memadukan antara pembelajaran daring dan luring. Kondisi sekarang ternyata telah menciptakan cara baru dalam belajar yang tidak sedikit mahasiswa telah beradaptasi dan menikmatinya.

Baca juga: Kemendikbudristek: Ada 336 Kampus Swasta Terancam Merger

Demikian pula para dosen yang sedikit banyak telah beradaptasi dengan metode pembelajaran yang baru. Pembelajaran luring tetap diperlukan untuk pelajaran yang menuntut mahasiswa mempraktikkan secara langsung, dan tentu saja untuk bersosialiasi dengan rekan-rekannya.

Kampus di masa sesudah pandemi tampaknya akan terasa lengang, karena tidak semua aktivitas pembelajaran dilakukan secara luring.

Di masa depan, yang adalah sekarang, kampus tidak dapat memandang dirinya sebagai komunitas terpisah dari lingkungan sekitar, tetapi menjadikan “city as campus” yaitu melibatkan elemen-elemen di dalam masyarakat sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Berkolaborasi dengan pihak eksternal menjadi keniscayaan. Program Kampus Merdeka - Merdeka Belajar dari Kemendikbud sejalan dengan pemikiran ini.

PTS sebagai bagian dari pilar pendidikan tinggi mestinya tidak menyerah dan tumbang terlepas dari asumsi bahwa jumlah PTS di Indonesia yang terlalu banyak dan beroperasi tidak efisien.

Hanya menunggu pandemi berakhir lalu berharap kembali berkegiatan seperti dulu lagi, bukan pemikiran yang tepat. Bertransformasi secara cepat dan taktis adalah satu-satunya jalan untuk bertahan mengiringi “jejak-jejak” pandemi yang serba tidak terduga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com