Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Saatnya Menerapkan Metode Berpikir Lateral di Sekolah dan Kampus

Kompas.com - 02/05/2021, 14:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MEMINJAM pernyataan (Floridi, 2015), “kini umat manusia sedang memasuki realitas onlife, sebuah realitas hyperconnected. Budaya digital memengaruhi perkembangan sosial, perilaku, dan kognitif manusia, baik secara individu maupun komunal”.

Transisi menuju budaya digital, jelas Floridi, secara radikal memengaruhi kondisi manusia dalam tiga hal utama.

Pertama, pada tingkat kognitif, budaya digital mempengaruhi cara kita belajar dan memproses informasi.

Kedua, pada tingkat individu sebagai manusia, budaya digital mengubah cara kita yang berinteraksi dengan dunia.

Dan ketiga, pada tingkat sosial, kita digiring menjadi bagian yang kian melekat dengan sebuah komunitas.

Peneliti bidang teknologi digital dari Politecnico di Milano Italia, Carmen Bruno dan Marita Caninaa (2019) menyatakan, dalam masa transisi budaya digital seperti itu, kreativitas dan inovasi telah menjadi kebutuhan demokratis dan diakui sebagai salah satu keterampilan manusia yang paling penting untuk menghadapi kompleksitas dunia yang semakin ruwet.

Hal itu menjadi tantangan paling berat dunia pendidikan yang menyadang tugas dan tanggung jawab utama untuk menyiapkan generasi muda memasuki dunia masa depan.

Namun, dunia pendidikan kita, para pengambil kebijakan, penyelenggara, dan pelaksana kegiatan pendidikand (guru di sekolah) - sepertinya tak terlalu peduli atau barangkali tak terlalu memahami bagaimana caranya mengembangkan daya kreativitas generasi muda kita.

Mereka tetap saja mengandalkan kurikulum dan metode pembelajaran konservatif, menggunakan metode berpikir vertikal yang merangsang kemampuan berpikir kritis, logis dan analitis.

Pengembangan kemampuan dan keterampilan berkreativitas dilakukan ala kadarnya, melalui kegiatan ekstrakurikuler.

Selebihnya, para siswa didorong untuk mengembangkan keterampilan kreativitas secara mandiri.

Dunia pendidikan tidak gencar memperkenalkan kepada para peserta didik soal pemikiran lateral yang menjadi prasyarat dasar untuk mengembangkan keterampilan berkreativitas dan berinovasi.

Metode berpikir lateral

Belakangan ini, metode berpikir atau pemikiran lateral yang dicetuskan oleh Edward de Bono lewat bukunya The Use of Lateral Thinking (1967) semakin mendapat perhatian dari para pengambil kebijakan, penyelenggara dan pelaku pendidikan di banyak negara.

Pada hakikatnya, metode berpikir lateral adalah cara memecahkan masalah dengan menggunakan pendekatan tidak langsung dan kreatif melalui penalaran yang tidak segera terlihat.

Cara berpikir ini melibatkan ide-ide yang mungkin tidak dapat diperoleh hanya dengan menggunakan logika langkah-demi-langkah yang bersifat tradisional.

Untuk menjelaskan gagasannya, Edward de Bono mengutip kisah “Pengadilan Nabi Sulaiman”. Bagi dia, cara Sulaiman menyelesaikan perselisihan di antara dua ibu dengan meminta anak yang diperebutkan itu dipotong menjadi dua, dan membuat penilaiannya sesuai dengan reaksi yang diterima perintah ini, adalah contoh dari pemikiran lateral.

Edward de Bono juga mengaitkan pemikiran lateral dengan humor, dengan alasan bahwa hal itu memerlukan peralihan dari pola yang sudah dikenal ke pola baru yang tidak terduga.

Momen kejutan inilah, menghasilkan tawa dan wawasan baru, yang memfasilitasi kemampuan untuk melihat pola pikir berbeda yang awalnya tidak jelas.

Pada Kata Pengantar buku Lateral Thinking: A Textbook of Creativity (2009) Edward de Bono mengakui bahwa metode berpikir lateral sengaja menjauhkan diri dari persepsi standar berpikir logis dan kritis menggunakan metode berpikir "vertikal".

Menurut dia, pemikiran lateral harus dibedakan dari pemikiran vertikal. Bahkan, perbedaan antara kedua jenis pemikiran ini sangat tajam.

Metode berpikir vertikal menghadapi masalah, melakukan analisa menggunakan logika dan langkah-langkah yang standar supaya langsung memberikan solusi.

Sebaliknya, metode berpikir lateral menggunakan pendekatan yang kreatif, dengan penalaran yang tak menjadi jelas seketika, dan melibatkan ide-ide yang mungkin tidak diperoleh melalui tahapan berpikir logis.

Pemikiran kritis biasanya menggunakan logika dan premis-premis yang standar, terutama ketika menilai suatu pernyataan dan mencari titik-titik lemahnya.

Sedangkan pemikiran lateral lebih berfokus pada pengembangan ide-ide baru, dengan menggunakan cara-cara yang tidak lazim.

Tujuan dari metode berpikir lateral adalah untuk menjelajahi sebanyak mungkin jalur yang berbeda dan memungkinkan pengguna untuk berpikir out-of-the-box.

Tidak seperti pemikiran vertikal, yang merupakan proses yang mengecualikan semua hal yang tidak relevan, pemikiran lateral menerima gangguan dan melihatnya sebagai peluang untuk menyelidiki arah baru yang berpotensi mengarah pada ide-ide baru.

Dalam pemikiran lateral, seseorang mungkin harus salah pada tahap tertentu untuk mencapai solusi yang tepat. Tetapi, dalam pemikiran vertikal (logika atau matematika) hal seperti itu tidak mungkin.

Dalam pemikiran lateral seseorang mungkin dengan sengaja mencari informasi yang tidak relevan: dalam pemikiran vertikal seseorang hanya memilih apa yang relevan.

Meski demikian, berpikir lateral bukanlah pengganti pemikiran vertikal. Keduanya wajib dikembangkan oleh dunia pendidikan formal. Sebab, kedua metode berpikir ini saling melengkapi. Pemikiran lateral bersifat generatif, sedangkan pemikiran vertikal itu selektif.

Berpikir lateral di ruang kelas formal

Di masa lalu, berpikir lateral telah menjadi ciri para jenius dan pemenang Hadiah Nobel. Namun, saat ini, hal itu menjadi kebajikan dan keterampilan yang diharapkan dimiliki oleh semua orang sebagai prasyarat untuk menjadi inovatif dan kreatif.

Pertanyaannya, bagaimana caranya mengembangkan metode berpikir lateral di ruang kelas/kuliah formal?

Salah satu tantangan besar dunia pendidikan formal di Indonesia sekarang adalah pendekatan pendidikan yang sangat menekankan metode berpikir vertikal.

Salah satu cara yang diterapkan di berbagai negara pendukung ide Edward de Bono adalah bahwa para pendidik harus membiasakan diri untuk mengajukan pertanyaan/masalah terbuka yang merangsang para peserta didik untuk berpikir secara kreatif guna menemukan solusi inovatif.

Hal yang lain yang dapat dilakukan adalah mengubah mindset peserta didik bahwa "guru atau dosen selalu benar". Sementara di pihak guru/dosen perlu ada perubahan mindset bahwa ia hanya mengakui satu jenis jawaban yang benar.

Mengapa? Anggapan bahwa "guru atau dosen selalu benar", dan bahwa "jawaban yang paling benar hanya ada satu" adalah sikap yang sangat menyederhanakan proses pendidikan. Namun, konsekuensinya sama sekali tidak memuaskan.

Sikap seperti itu tidak hanya menghambat potensi kreatif pada peserta didik, tetapi juga mengajarkan kepada generasi muda bahwa cara termudah di dunia ini adalah jika Anda berpikir seperti orang lain.

Ini adalah sikap yang sangat berbahaya, karena itu, banyak kerusakan telah terjadi pada masyarakat kita.

Ini adalah akar dari "ketidakkreatifan" manusia. Oleh karena itu, mengubah mindset dan perilaku “guru/dosen selalu benar” dan “hanya ada satu jawaban yang benar” akan menjadi titik awal reformasi di dunia pendidikan kita.

Sesuai dengan aturan berpikir lateral, kesalahan diperbolehkan pada tahap proses pemecahan masalah dan dapat mengarah pada solusi yang sangat menarik.

Hal ini bertentangan dengan pendekatan pengajaran tradisional yang menuntut ketelitian pada setiap langkahnya.

Sebagaimana kita ketahui, banyak guru/dosen di sekolah/kampus justru tak segan menghukum peserta didiknya karena tidak mengikuti langkah yang diharapkan padahal jawaban akhirnya adalah menyelesaikan soal.

Praktik tradisional seperti ini juga perlu diubah. Peserta tidak perlu takut membuat kesalahan dan mengambil rute yang aneh selama proses penyelesaian berlangsung.

Sebab, pikiran kadang bekerja dengan cara yang luar biasa dan dapat dengan mudah mengubah situasi negatif menjadi situasi menang atau keberhasilan.

Begitulah beberapa contoh kecil, bahwa pemikiran lateral sesungguhnya dapat dipraktikkan di ruang kelas formal.

Menurut penulis langkah-langkah perubahan seperti dicontohkan di atas perlu segera diterapkan guna terbangunnya sebuah proses pendidikan yang memungkinkan para peserta didik memiliki keterampilan kreatif dan inovatif sehingga mampu beradaptasi dengan dunia yang berubah begitu cepat.

Berkenaan dengan itu, kita sesungguhnya membutuhkan guru/dosen yang berkualifikasi tinggi dan kompeten di bidang yang mereka ajar.

Lebih dari itu kita pun membutuhkan guru/dosen atau para pendidik yang mampu mengembangkan metode berpikir lateral.

Itu adalah prasyarat dasar untuk menularkan keterampilan berpikir inovatif dan kreatif kepada generasi muda bangsa kita agar kelak menjadi pemenang dalam era kehidupan yang semakin digital. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com