Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanuddin Wahid
Sekjen PKB

Sekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Anggota Komisi X DPR-RI.

Saatnya Menerapkan Metode Berpikir Lateral di Sekolah dan Kampus

Kompas.com - 02/05/2021, 14:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Untuk menjelaskan gagasannya, Edward de Bono mengutip kisah “Pengadilan Nabi Sulaiman”. Bagi dia, cara Sulaiman menyelesaikan perselisihan di antara dua ibu dengan meminta anak yang diperebutkan itu dipotong menjadi dua, dan membuat penilaiannya sesuai dengan reaksi yang diterima perintah ini, adalah contoh dari pemikiran lateral.

Edward de Bono juga mengaitkan pemikiran lateral dengan humor, dengan alasan bahwa hal itu memerlukan peralihan dari pola yang sudah dikenal ke pola baru yang tidak terduga.

Momen kejutan inilah, menghasilkan tawa dan wawasan baru, yang memfasilitasi kemampuan untuk melihat pola pikir berbeda yang awalnya tidak jelas.

Pada Kata Pengantar buku Lateral Thinking: A Textbook of Creativity (2009) Edward de Bono mengakui bahwa metode berpikir lateral sengaja menjauhkan diri dari persepsi standar berpikir logis dan kritis menggunakan metode berpikir "vertikal".

Menurut dia, pemikiran lateral harus dibedakan dari pemikiran vertikal. Bahkan, perbedaan antara kedua jenis pemikiran ini sangat tajam.

Metode berpikir vertikal menghadapi masalah, melakukan analisa menggunakan logika dan langkah-langkah yang standar supaya langsung memberikan solusi.

Sebaliknya, metode berpikir lateral menggunakan pendekatan yang kreatif, dengan penalaran yang tak menjadi jelas seketika, dan melibatkan ide-ide yang mungkin tidak diperoleh melalui tahapan berpikir logis.

Pemikiran kritis biasanya menggunakan logika dan premis-premis yang standar, terutama ketika menilai suatu pernyataan dan mencari titik-titik lemahnya.

Sedangkan pemikiran lateral lebih berfokus pada pengembangan ide-ide baru, dengan menggunakan cara-cara yang tidak lazim.

Tujuan dari metode berpikir lateral adalah untuk menjelajahi sebanyak mungkin jalur yang berbeda dan memungkinkan pengguna untuk berpikir out-of-the-box.

Tidak seperti pemikiran vertikal, yang merupakan proses yang mengecualikan semua hal yang tidak relevan, pemikiran lateral menerima gangguan dan melihatnya sebagai peluang untuk menyelidiki arah baru yang berpotensi mengarah pada ide-ide baru.

Dalam pemikiran lateral, seseorang mungkin harus salah pada tahap tertentu untuk mencapai solusi yang tepat. Tetapi, dalam pemikiran vertikal (logika atau matematika) hal seperti itu tidak mungkin.

Dalam pemikiran lateral seseorang mungkin dengan sengaja mencari informasi yang tidak relevan: dalam pemikiran vertikal seseorang hanya memilih apa yang relevan.

Meski demikian, berpikir lateral bukanlah pengganti pemikiran vertikal. Keduanya wajib dikembangkan oleh dunia pendidikan formal. Sebab, kedua metode berpikir ini saling melengkapi. Pemikiran lateral bersifat generatif, sedangkan pemikiran vertikal itu selektif.

Berpikir lateral di ruang kelas formal

Di masa lalu, berpikir lateral telah menjadi ciri para jenius dan pemenang Hadiah Nobel. Namun, saat ini, hal itu menjadi kebajikan dan keterampilan yang diharapkan dimiliki oleh semua orang sebagai prasyarat untuk menjadi inovatif dan kreatif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com