KOMPAS.com - Belum lama ini publik dihebohkan dengan pemain tim nasional (timnas) voli Indonesia, Aprilia Manganang, yang didiagnosis mengalami hipospadia. Semenjak peristiwa ini, membuka pemahaman publik bahwa ada kemungkinan salah dalam penentuan jenis kelamin bayi.
Pakar genetika medik dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Prof. Sultana MH Faradz mendesak adanya standar manajemen penanganan gangguan perkembangan seksual secara nasional.
Karena, gangguan tersebut membutuhkan penanganan komprehensif dan multidisiplin.
“Penanganan sejak dini akan meningkat kualitas hidup penderita,” kata Prof. Sultana mengutip dari laman undip.ac.id, Jumat (16/4/2021).
Prof. Sultana mengungkapkan, pada rentang tahun 2004 hingga 2020 ditemukan 1.069 kasus gangguan perkembangan seksual.
Dari kasus yang terdeteksi, 37 persen di antaranya merupakan hipospadia, yakni kelainan bocor saluran jalan keluar air seni yang terjadi pada saluran kemih dan penis.
Baca juga: Gunakan Kursi Roda, Chantika Tetap Semangat Ikuti UTBK di Undip
Sampai saat ini belum ada standar manajemen penanganan gangguan perkembangan seksual secara nasional.
Sehingga sering terjadi keterlambatan penanganan. Banyak penderita yang baru mencari bantuan untuk mengatasi kelainannya menjelang dewasa.
“Kalau ditangani sejak dini maka tidak terjadi kebingungan dalam menentukan gender, pola asuh dan kualitas hidup penderita akan lebih baik,” tegasnya.
Baca juga: Calon Mahasiswa, Simak Jawaban LTMPT Seputar Persiapan UTBK-SBMPTN
Mengenai penyebab hipospadia, lanjut Sultana, kelainan hormonal sebagai salah satu faktornya. "Bisa juga terjadi karena paparan lingkungan seperti pestisida dan obat nyamuk bakar. Selain itu juga bisa karena kelainan genetik,” imbuh Sultana.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.