Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar UGM: Jabatan Presiden 3 Periode Langgar Pembatasan Kekuasaan

Kompas.com - 17/03/2021, 11:00 WIB
Mahar Prastiwi,
Ayunda Pininta Kasih

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Sejak masa kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah dipimpin oleh 7 presiden. Dua diantaranya yakni Soekarno dan Soeharto dengan masa jabatan presiden yang cukup lama.

Presiden Soekarno menjabat sebagai presiden di periode 1945 hingga 1967 atau selama 22 tahun. Sedangkan Presiden Soeharto menggantikan Soekarno hingga kemudian lengser pada tahun 1998.

Saat ini, pemilihan presiden dilakukan dengan sistem Pemilihan Umum (Pemilu) yang diadakan lima tahun sekali. Namun belakangan ini, wacana masa jabatan presiden 3 periode kembali muncul.

Baca juga: Guru Besar IPB Temukan Formula Minuman Penurun Gula Darah

Menanggapi hal tersebut, Pakar Politik Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Abdul Gaffar Karim menilai, masa jabatan presiden 3 periode merupakan bentuk pelanggaran terhadap pembatasan kekuasaan.

“Hal pertama yang dilanggar adalah pembatasan kekuasaan,” Kata Abdul Gaffar dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (16/3/2021).

Kekuasaan tidak boleh ada di satu tangan

Menurut Abdul, dalam dunia demokrasi modern telah disepakati jika penguasa eksekutif hanya boleh dipilih maksimal dua kali saja.

Adanya pembatasan tersebut, sambung Abdul, mengacu pada moral dasar demokrasi bahwa kekuasaan tidak boleh berada di satu tangan. Tetapi harus menyebar seluas mungkin.

Baca juga: Pakar Nyamuk IPB: Nyamuk Masih Jadi Pembunuh Nomor Satu di Dunia

Oleh sebab itu, dalam pengelolaan negara dibuat mekanisme sirkulasi rutin. Misalnya melalui pemilihan kepala negara dan kepala daerah secara berkala. “Pembatasan ini kesepakatan saja, tetapi jadi pijakan agar kekuasaan tidak memusat,” terang Abdul.

Dua jenis pembatasan kekuasaan

Abdul mengungkapkan, ada dua jenis pembatasan kekuasaan yakni pembatasan legal dan pembatasan etik.

Pembatasan legal dilakukan dengan aturan resmi seperti regulasi dan konstitusi yakni dengan pemilihan kepala negara dan kepala daerah maksimal dua kali.

Sedangkan pembatasan etik merupakan bentuk pembatasan yang tidak tertulis dalam hukum. Kendati demikian, pembatasan tersebut harus menjadi kesepakatan bersama. Sebagai contoh, penguasa aktif diharapkan tidak mendorong keluarga dekat untuk meneruskan kekuasaannya. Meski hal itu tidak dilarang atau dibatasi secara hukum, tapi ada batasan secara etika politik.

“Pembatasan ini dalam rangka mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan yang ditabukan dalam demokrasi yang disepakati di demokrasi modern,” papar dosen Fisipol UGM ini.

Baca juga: Penyebab Banjir di Jabar, Begini Kata Pakar Hidrologi Unpad

Masa jabatan 3 periode timbulkan permasalahan baru

Jika masa jabatan presiden 3 periode benar-benar diwujudkan, Abdul Gaffar Karim mengungkapkan, hal itu akan menimbulkan persoalan baru. Ada risiko besar yang akan dihadapi bangsa Indonesia.

Sebab semakin lama suatu kekuasaan maka kemampuan untuk mengumpulkan sumber daya menjadi lebih kuat. Dengan begitu menjadikan kekuasaan menjadi lebih absolut.

“Kalau sampai 3 kali, seorang penguasa mampu mengumpulkan resources di tangannya sehingga terlalu berkuasa secara politik, ekonomi, dan sosial,” beber Abdul.

Kondisi ini menjadi pantangan yang dihindari. Mencegah adanya orang atau kekuatan politik yang di tangannya dengan sumber daya yang berlebihan. “Yang dikhawatirkan dari tiga periode ini bisa munculkan orang dengan resources yang menumpuk,” imbuhnya.

Selain melanggar pembatasan kekuasaan, masa jabatan presiden 3 periode dikatakan Abdul Gaffar Karim akan menciptakan kompetisi yang tidak adil. Pasalnya, terdapat satu kekuatan yang terlalu kuat.

Baca juga: Pakar UGM: Virtual Police Perlu Jaga Hak Digital Pengguna Medsos

Harus mengubah UUD 1945

Sementara itu, Pakar Hukum Tata Negara, Andy Omara menambahkan, tidak mungkin jabatan presiden 3 periode. Sebab dalam pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah diatur masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal 2 periode saja.

“Kalau dipilih 3 periode dengan UUD yang berlaku itu tidak memungkinkan. Kecuali mengubah pasal 7 UUD,” terangnya.

Untuk mengubah UUD bukanlah hal yang tidak memungkinkan. Amendemen UUD bisa terjadi lewat konvensi ketatanegaraan. Namun begitu, melihat peta politik saat ini sulit untuk melakukan konvensi ketatanegaraan untuk mengubah UUD.

“Bukanya tidak mungkin untuk melakukan perubahan UUD, tetapi tidak mudah dengan peta politik saat ini,” urainya.

Menurut Andy, semangat perubahan untuk membatasi kekuasaan yang dulunya presiden bisa dipilih berkali-kali sudah dibatasi oleh pasal 7 yang baru. Sebelumnya, dalam UUD lama disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama 5 tahun dan setelahnya dapat dipilih.

Baca juga: Pakar Bencana UPNVY: Kenali Tanda Bencana Tanah Longsor

Hal itu dapat dimaknai jika telah terpilih bisa dipilih kembali hingga berkali-kali karena tidak adanya pembatasan berapa kali periode diperbolehkan menjabat. Namun setelah melalui amandemen Pasal 7 tahun 1999 disebutkan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya satu kali masa jabatan.

“Semangat perubahan untuk membatasi yang dulu bisa dipilih berkali-kali, dengan pasal 7 yang baru ini sudah tidak mungkin karena sudah dikunci oleh pasal 7 ini,” tegasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com