KOMPAS.com - Keberadaan buzzer tidak bisa dihentikan selama teknologi masih memungkinkan. Apalagi, media sosial dan teknologi informasi semakin canggih.
"Media baru kan semakin mudah, jadi akan sulit menghentikan karena akan terus ada itu," ucap Dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, Wisnu Martha Adiputra melansir laman UGM, Kamis (4/3/2021).
Baca juga: Mendikbud Minta Sekolah Aktif Data Siswa agar Rasakan Kuota Gratis
Wisnu tidak sependapat jika dikatakan buzzer sebagai sumber kekacauan selama ini.
Menurut dia, problem utamanya adalah terletak pada pemahaman soal literasi digital.
Saat ini, kata dia, adalah era media sosial. Sehingga bagi negara-negara yang mengusung demokrasi pasti terkena imbasnya.
Mirip buah simalakama ketika warga dibebaskan beropini, hal ini tentu berbeda dengan negara-negara otoriter, seperti Myanmar, Tiongkok dan lain-lain.
"Problemnya orang masih belum bisa membedakan mana disebut pendapat, mana disebut hoaks, ujaran kebencian dan menyerang," ungkap dia.
Buzzer merupakan buah dari keterbukaan dan banyak yang bilang sumber kekisruhan.
"Padahal buzzer ini terdiri dua pihak lho, pihak pro pemerintah dan kontra," sebut dia.
Sayangnya, kata Wisnu, buzzer kadang hanya dilihat dari sisi pemerintah.
Padahal, buzzer-buzzer yang kontra juga banyak dan itu menandakan mereka melengkapi sistem demokrasi.
Baca juga: Pakar UGM: Polisi Virtual Harus Netral dan Objektif
Untuk itu, kata Wisnu, membuat media sosial nyaman menjadi tantangan sekaligus tugas bersama.
Dengan kata lain upaya meningkatkan literasi digital di masyarakat tidak hanya menjadi tugas pemerintah saja.
"Departemen Ilmu Komunikasi UGM bersama banyak peneliti dan dosen lain kampus dan organisasi-organisasi di masyarakat membuat Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi)," sebut dia.
Tercatat tidak kurang 250 pegiat literasi digital dari sekitar 80 kampus bergabung di Japelidi.