Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taipan "The Winner Takes It All", Kupas Elit Keuangan Jadi Pemenang

Kompas.com - 04/03/2021, 20:40 WIB
Dian Ihsan

Penulis

Penulis: William Yang

KOMPAS.com - Dua puluh tahun berlalu, sejak Asia dilanda krisis moneter yang merontokkan kesombongannya sebagai "Keajaiban Ekonomi Abad 20". Waktu itu kita sedang berada di puncak kejayaan ekonomi.

Namun tanpa disadari, semua itu dapat berubah dalam sekejap. Kita terhempas dari puncak masa keemasan ke jurang ekonomi terdalam, bahkan nyaris menjadi negara gagal.

Baca juga: Perjalanan Seni Garin Nugroho Lewat Buku Adam, Hawa, dan Durian

Di Oktober 1987 Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi akibat hancurnya nilai minyak dan kejadian Black Monday, yang merontokkan pasar saham dunia.

Setahun kemudian, Menteri Keuangan JB Sumarlin mengeluarkan Paket Oktober 88 (PAKTO 88) yang memberi keleluasaan kepada pengusaha untuk membuka bank asal memenuhi persyaratan modal.

Idenya adalah menarik dana dari golongan menengah dan kaya yang saat itu belum menyimpan uangnya di bank.

Bank pun bermunculan, cabang terus dibuka di mana-mana, promo bunga dan hadiah berhamburan.

Dana dalam jumlah sangat besar yang semula tersimpan di bawah bantal, waktu itu mulai masuk ke sistem perbankan.

Para pemilik bank akhirnya punya akses terhadap megadana tersebut; dari yang awalnya kesulitan finansial, kini kesulitan akibat terlalu banyak dana.

Awalnya, para pemilik bank memakai dana itu untuk mendanai core business mereka. Akibat sistem pengawasan perbankan yang belum sebaik saat ini, selanjutnya mulai terjadi penggunaan dana tersebut untuk bisnis lainnya secara sembrono.

Apalagi dengan adanya reformasi pasar keuangan tahun 1989, yang memungkinkan investor asing memiliki saham lokal hingga 49 persen. Dana asing maha besar pun masuk ke bursa saham.

Baca juga: Mendikbud: Dana BOS Bisa Bayar Gaji Guru Honorer

Muncullah waktu itu sebuah resep cepat kaya: pinjam dana bank sebanyak mungkin, buat bisnis baru, lakukan go public, maka hutangmu lunas, lalu pinjam lebih banyak lagi.

Pesta berlanjut, ekonomi terus naik ke langit. Dengan dana maha besar dari luar negeri, masalah yang dihadapi bukan lagi kekurangan uang, melainkan kekurangan bisnis.

Promo Survei GramediaDOK. Gramedia Promo Survei Gramedia

Pengembangan bisnis pun semakin ngawur, etika diabaikan, jual beli bisnis melalui hostile take over dengan meminjam tangan kekuasaan dijalankan, intrik makin kejam, korupsi pun meraja rela.

Begitu kasar dan kotornya praktik KKN waktu itu, hingga muncul ungkapan:

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com