Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar ITB: Gunung Merapi Luncurkan Lava, Aneka Warna Cerminkan Suhu

Kompas.com - 13/01/2021, 10:59 WIB
Albertus Adit

Penulis

KOMPAS.com - Gunung Merapi yang terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah ini menjadi salah satu gunung api teraktif di Indonesia.

Bahkan pada 2010 lalu meletus dahsyat hingga merenggut korban jiwa. Erupsi Merapi dikenal berbahaya karena awan panas mampu merusak apa saja yang dilewatinya.

Bahkan kini mulai menunjukkan aktivitas tinggi untuk kembali erupsi. Hal ini terlihat dengan adanya guguran lava beberapa hari yang lalu.

Pengamat gunung api sekaligus Volkanolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Eng. Mirzam Abdurrachman, S.T., M.T., menyatakan, saat meletus 2010 lalu, Gunung Merapi memiliki pola aktivitas.

Baca juga: Dalam Webinar UGM, Kepala BPPTKG: Merapi Mendekati Erupsi

Dari mulai pembentukan kubah lava, kemudian terjadi letusan disertai awan panas (wedus gembel), dan diakhiri guguran lava pijar.

"Aktivitas Gunung Merapi sebetulnya sudah menunjukkan adanya peningkatan sejak pertengahan 2018," ujarnya seperti dikutip dari laman ITB, Kamis (7/1/2021).

"Merapi yang dulu menunjukkan pola, sehingga kita belajar dari terjadi kubah lava dan diikuti letusan besar, namun sekarang polanya berbeda yang diawali pecahan (guguran) lava," imbuhnya.

Masyarakat tetap waspada

Dari pengamatannya, guguran lava yang muncul dari Gunung Merapi akhir-akhir ini cenderung kental, tidak encer. Meskipun begitu, masyarakat harus tetap berhati-hati karena berdasarkan laporan dari BPPTKG, Badan Geologi, gempa-gempa vulkanik masih sering terjadi.

"Kalau yang keluar dari gunung itu hanya aliran lava, harusnya tidak berbahaya karena aliran lava biasanya sedikit sekali memakan korban jiwa maupun kerusakan infrastrukturnya, karena mengalir lambat tidak secepat letusan disertai wedus gembel," terangnya.

Dikutip dari laporan aktivitas Gunung Merapi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), tingkat aktivitas gunung Merapi berada pada level siaga (level 3) sejak 5 November 2020.

Berdasarkan pengamatan pada 6 Januari 2021 pukul 00.00-24.00 diketahui bahwa terdapat 2 kali guguran lava pijar dengan intensitas kecil.

Jarak luncuran 400 m ke arah Kali Krasak. Selain itu juga terdengar suara guguran sebanyak 3 kali dari PGM Babadan dengan intensitas lemah hingga sedang.

Meski demikian, ada yang perlu menjadi catatan mengenai gunung Merapi erupsi. Menurut Mirzam yaitu ketika aliran lava dengan temperatur yang tinggi tetapi tidak mengalir jauh.

Hal tersebut perlu menjadi kewaspadaan sebab dikhawatirkan menyumbat dan terjadi akumulasi energi dari magma yang belum keluar di bawahnya.

"Kita belajar sesuatu yang baru dari Gunung Merapi karena temperatur lavanya tinggi namun tidak mengalir jauh," ucapnya.

Pahami warna lava

Seharusnya, lanjut Mirzam, jika lava yang keluar bersuhu tinggi, maka lavanya akan encer. Namun jika tidak encer maka bisa menahan magma yang belum keluar. Lava sendiri umumnya akan mulai mengalir ketika memiliki suhu lebih dari 700 C.

Perbedaan warna, mencerminkan perbedaan suhu lava. Lava berwarna:

  • lava putih suhu lebih dari 1.150 C
  • lava kuning keemasan suhu lebih 1.100 C
  • lava oranye suhu 900-1.000 C
  • lava berwarna merah buah ceri suhu lebih 700-800 C
  • lava warna merah tanah suhu lebih 550-625 C
  • lava merah redup suhu lebih 475 C
  • lava pijaran tungku pizza bersuhu lebih 260-315 C

Karenanya, dengan mempelajari warna dari guguran lava tersebut, dapat menjadi referensi bagi masyarakat setempat untuk melakukan mitigas mandiri (self mitigation).

Hal tersebut penting karena dengan begitu, masyarakat yang tinggal di sekitaran Gunung Merapi akan lebih peduli pada pola aktivitas gunung tersebut dan tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

Baca juga: Mahasiswa Tinggal di Lereng Gunung Merapi, Status Siaga Pahami Info Ini

Dari prediksi yang sudah dibuat, jika terjadi Gunung Merapi meletus, volumenya tidak akan sebesar 2010. "Namun lagi-lagi, prediksi itu berdasarkan data yang sudah ada, semakin banyak data maka akan semakin akurat," ucapnya.

ITB sendiri tengah melakukan pengumpulan data-data gunung api sehingga pemodelan berbasis data akurasinya akan semakin tinggi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com