Oleh: Rika Iffati Farihah | Alumnus S2 Psikologi
KOMPAS.com - Entah kalau Anda, tapi saya merasa sejak Pilpres 2014 ada sesuatu berbeda dalam situasi kebangsaan kita. Mungkin itu juga disebabkan berkembangnya teknologi informasi, internet, dan media sosial.
Beberapa tahun belakangan, seolah ada garis imajiner yang memecah masyarakat menjadi dua: pendukung capres A dan pendukung capres B.
Situasi berlanjut hingga Pilpres 2019 dan tidak berhenti ketika presiden terpilih sudah ditetapkan dan menjabat.
Saking sengitnya polarisasi itu, muncul satu cara pengambilan kesimpulan yang terbalik: kalau Anda tidak sependapat dengan kelompok A dalam suatu isu, maka Anda pastilah anggota kelompok B.
Ini membuat diskusi isu publik menjadi tidak sehat.
Yang menarik, masing-masing pihak merasa telah memberi argumen yang kuat dan tak dan tak habis pikir bagaimana pihak satunya tidak menerima kebenaran argumen mereka.
Sebenarnya apa yang terjadi? Apa yang menyebabkan kita manusia, bukan hanya di Indonesia, begitu mudah terbelah akibat pilihan politik atau agama?
Jonathan Haidt, ahli psikologi dari Amerika Serikat, mengulas persoalan itu dalam buku yang berjudul "The Righteous Mind: Mengapa Orang-orang Baik Terpecah Karena Politik dan Agama", yang terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Pada Kamis, 14 Januari 2021 pukul 19.00 WIB, buku ini akan jadi bahan diskusi antara saya dan Budiman Sudjatmiko melalui tautan Zoom: http://bit.ly/zoom_DiskusiBukuTheRighteousMind
Baca juga: Buku Menulis Kreatif dan Berpikir Filosofis untuk Menemukan Jati Diri
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.