Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dekan Undip: Pandemi, Awas Potensi Gangguan Psikologis

Kompas.com - 15/12/2020, 09:38 WIB
Albertus Adit

Penulis

KOMPAS.com - Sejak Maret 2020, masyarakat di Indonesia harus menghadapi pandemi Covid-19. Karena berkepanjangan, maka dapat berpotensi menyebabkan gangguan psikologis yang serius dan mengancam produktivitas masyarakat.

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro (Undip), Dian Ratna Sawitri, S.Psi., M.Si., Ph.D., mengatakan potensi gangguan psikologis perlu mendapat perhatian khusus.

Menurutnya, perubahan perilaku terkait pandemik secara umum dibagi menjadi tiga, yakni protective behavior, preparedness behavior dan perverse behavior.

"Ketiga perubahan perilaku tersebut masing-masing memiliki implikasi yang bisa berujung pada gangguan psikologis," ujarnya seperti dikutip dari laman Undip, Senin (14/12/2020).

Baca juga: Kenapa Iklan di Medsos Bisa Sesuai Keinginan? Ini Penjelasan Akademisi UII

Karena situasi darurat kesehatan masyarakat secara internasional maka konsekuensinya terjadi pembatasan sosial seperti kegiatan sekolah dan universitas berubah menjadi belajar dari rumah, dibatasinya aktivitas perkantoran menjadikan munculnya work from home (WFH).

Tak hanya itu saja, karena pandemi juga ada kebijakan penutupan tempat hiburan dan pariwisata yang berpengaruh pada melonjaknya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja.

Dia berpendapat, awalnya masyarakat dapat menerima pembatasan, bersabar dan berharap keadaan segera pulih. Namun, ketika situasi wabah menjadi berkepanjangan, masyarakat gelisah hingga muncul beragam gangguan psikologis yang bisa dikelompokkan dalam tiga pola.

1. Protective behavior

Kelompok pertama, protective behavior, adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memenuhi aturan kesehatan dalam rangka menghentikan penyebaran penyakit. Protective behavior mencakup personal hygiene dan social distancing.

Personal hygiene diwujudkan berupa tindakan seperti menggunakan masker, mencuci tangan, menghindari makan di luar rumah, menyemprot desinfektan, memastikan kecukupan ventilasi udara di dalam ruangan.

Sedangkan social distancing dilakukan dengan menjaga jarak untuk menghambat penyebaran virus, menghindari kerumunan dan menunda bepergian.

Dalam konteks tertentu, social distancing juga diwujudkan dalam tindakan melakukan karantina mandiri ketika menyadari bahwa dirinya berinteraksi dengan suspek atau pihak yang terinfeksi Covid-19 atau karena baru melakukan perjalanan jauh menggunakan angkutan umum.

Pembatasan hubungan sosial dan karantina, menurut Sawitri, dapat menimbulkan berkurangnya aktivitas fisik, munculnya perasaan sedih, terisolasi, bosan dan kesepian.

Kondisi itu membuka peluang meningkatnya prevalensi depresi, konsumsi alkohol dan obat-obat terlarang, adiksi atau kecanduan internet, dan kekerasan dalam rumah tangga.

Sedangkan penerapan work from home juga bukan hal yang sederhana. Diperlukan penyesuaian dengan situasi dan penghuni rumah. Apalagi bagi yang memiliki anak usia sekolah.

Melakukan pendampingan terhadap anak yang sedang menghadapi situasi belajar yang baru sembari melakukan pekerjaan dari rumah sekaligus tak jarang membuat over exhausted (teler) dan tertekan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com