Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wisnu Dewobroto
Pendidik dan Peneliti

Pendidik dan Peneliti di bidang Kewirausahaan. Tim Kewirausahaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sekretaris Umum Komunitas Tangan Diatas.

Dosen Penggerak "Merdeka Belajar-Kampus Merdeka", Sudahkah "Move On"?

Kompas.com - 01/12/2020, 14:39 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KOMPAS.com - Pada 16 Maret 1948 Presiden Soekarno mencanangkan gerakan "Pemberantasan Buta Huruf (PBH), dan 73 tahun kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mencanangkan gerakan "Merdeka Belajar-Kampus Merdeka".

PBH bukan proyek atau program pemerintah, melainkan sebuah gerakan nasional, yakni gerakan bersama antara pemerintah dan rakyat.

Hasilnya, pada 31 Desember 1964 semua penduduk Indonesia berusia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat, kini Papua) dinyatakan bebas buta huruf.

Begitu pun "Merdeka Belajar-Kampus Merdeka", adalah sebuah gerakan nasional di mana dosen sebagai motor penggeraknya.

Apa yang dimaksud Merdeka Belajar-Kampus merdeka?

Dulunya kampus menjadi tempat untuk belajar bagi mahasiswa dan juga dosen secara tatap muka langsung. Pada program pembelajaranya, sebuah kampus sering kali menerapkan konsep pembelajaran di mana dosen menjadi sumber utama.

Ini tentunya akan menjadikan mahasiswa kurang mandiri dalam menyelesaikan berbagai upaya pemecahan masalah.

Selama ini pada dasarnya sebuah kampus telah menerapkan sistem pembelajaran dengan sistem Satuan Kredit Semester (SKS) yang hampir keseluruhan mengharuskan adanya kegiatan belajar di dalam kelas.

Ini menunjukkan kurangnya kemerdekaan belajar yang harus dijalankan oleh setiap mahasiswa dalam melakukan pembelajarannya.

Baca juga: Kebijakan Kampus Merdeka, Decoupling atau Recoupling Perguruan Tinggi?

Esensi "Merdeka Belajar-Kampus Merdeka" 

Apa itu Merdeka Belajar?

Merdeka Belajar adalah memberi kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendiikan, dan merdeka dari birokratisasi. Dosen dibebaskan dari birokrasi vang berbelit serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai.

Merdeka Belajar-Kampus Merdeka adalah kebijakan yang bertujuan mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan yang berguna untuk memasuki dunia kerja. Kampus Merdeka memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk memilih mata kuliah yang akan mereka ambil.

Merdeka Belajar bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada mahasiswa untuk belajar di luar kampus.

Konsep tersebut terus dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai upaya untuk mendapatkan calon pemimpin masa depan yang berkualitas.

Apa Itu Kampus Merdeka?

Kampus Merdeka pada dasarnya merupakan sebuah konsep baru yang membiarkan mahasiswa mendapatkan kemerdekaan belajar di perguruan tinggi. Konsep ini pada dasarnya menjadi sebuah lanjutan dari sebuah konsep yang sebelumnya, yaitu Merdeka Belajar.

Hal tersebut merupakan implementasi dari visi misi Presiden Joko Widodo guna menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang lebih unggul.

Dalam penerapannya, mahasiswa akan diberikan keleluasaan selama dua semester pada program belajarnya untuk melakukan kegiatan di luar kelas. Konsep ini pada dasarnya menjadikan mahasiswa untuk lebih bersosialisasi dengan lingkungan di luar kelas.

Jadi, mahasiswa nantinya secara tidak langsung akan diajak untuk belajar caranya hidup di lingkungan masyarakat. Tujuannya, mengenalkan adanya dunia kerja pada mahasiswa sejak dini, sehingga mahasiswa akan jauh lebih siap kerja setelah nantinya lulus dari sebuah perguruan tinggi.

Baca juga: Kampus Merdeka, Tamparan dan Terobosan Dunia Pendidikan Tinggi Kita

Transformasi dosen penggerak

Kebijakan Belajar Merdeka-Kampus Merdeka hadir untuk membuka ruang-ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan diri dan potensi sesuai dengan apa yang dicita-citakan.

Ada dua tujuan utama dari program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, yakni, pertama, bagaimana mengakselerasi inovasi di level pendidikan tinggi melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Kedua, bagaimana menyiapkan mahasiswa yang akan masuk dunia kerja agar sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.

Mengutip Nadiem, paradigma peran dosen sebagai tenaga pendidik di Perguruan Tinggi (PT) harus berubah jika ingin menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Dalam hal ini, Nadiem menyebutnya dengan istilah dosen penggerak.

Lalu apa itu dosen penggerak? Dosen penggerak selalu belajar dan mau mencari lebih tahu jawaban dari seluruh pertanyaan mahasiswanya, daripada memberikan ceramah di kelas.

Dosen penggerak kalau melihat kapabilitas mahasiswanya melampaui ilmu dirinya, maka dia akan merasa bangga, bukannya justru merasa terancam.

Dosen penggerak harus memiliki kebiasaan untuk terus mencari ilmu baru dan mencari pihak-pihak lain yang mampu mendukung pembelajaran mahasiswa di kelasnya.

Selain itu, juga memiliki kebiasaan mengerjakan proyek penelitian dengan melibatkan mahasiswanya guna memberikan mereka pengalaman yang bisa dirasakan langsung.

Waktu ceramah yang biasanya dilakukan dosen pada umumnya harus dikurangi karena terbukti hanya membuang-buang waktu. Bagi dosen penggerak, waktu harus diperbanyak dengan melakukan diskusi dan kerja kelompok antar-mahasiswa.

Dosen penggerak juga diperbolehkan merekam ceramahnya sebelum mengajar di kelas, supaya tidak "buang-buang" waktu di kelas. Jadi di kelas bisa langsung sesi diskusi maupun kerja kelompok.

Baca juga: Mahasiswa, Ini 8 Kegiatan Pembelajaran pada Kampus Merdeka

Saatnya dosen "move on"

Sayangnya, apa yang terjadi di ruang kelas masih belum banyak berubah sejak zaman dulu, yakni dosen berdiri di depan kelas, sementara mahasiswa hanya diam mendengarkan. Dosen menjadi satu-satunya sumber ilmu, sedangkan saat ini sumber ilmu sudah terbuka dari mana pun.

Saat ini kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah begitu pesat. Mahasiswa mudah sekali mendapatkan ilmu dari mana pun, bahkan dari sumber ilmu pertamanya.

Lantas ada pertanyaan menantang, apa manfaat pendidikan tinggi jika hanya sekadar pemberian ilmu dari dosen yang berdiri di depan kelas ke mahasiswa?

Sedangkan mahasiswanya saja bisa dengan mudah mendapat ilmu dari sumber pertama melalui bantuan teknologi atau yang disediakan di internet.

Dunia industri dan dunia usaha pun kerap mengeluhkan lulusan perguruan tinggi yang tidak cocok dengan kebutuhan yang ada di lapangan, tak ada "link and match".

Pertanyaannya, setelah dicanangkan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka, sudahkah para dosen "move on" atau beranjak dari kebiasaan lama yang lebih banyak berdiri di depan kelas?

Mau tak mau, tentu harus "move on". Kita harus menjadi dosen penggerak.

Dengan kita menjadi dosen penggerak maka akan terjadi perubahan pola pembelajaran yang sesuai dengan perubahan zaman yang begitu cepat. Lalu terciptalah lulusan perguruan tinggi yang berdaya saing dan unggul.

Dosen penggerak adalah agen perubahan yang akan mengubah mindset (pola pikir) semua tenaga pendidik atau dosen untuk menyiapkan kampus masa depan yang fleksibel, kampus adaptif, kampus yang memberikan ruang seluas-luasnya untuk menemukan jatidiri dan potensinya dan menjadi SDM yang unggul.

Menjadi "kopilot" siapkan Society 5.0

Dosen penggerak bisa menjadi pendamping mahasiswa, atau katakanlah "kopilot". Kopilot bagi mahasiswa untuk menjelajahi kompetensinya, mengembangkan dirinya, menjelajah ilmu pengetahuan dan teknologi.

Selain itu, dosen penggerak dan mahasiswa dapat bersama-sama berkreasi melalui ilmu pengetahuan dan teknologi.

Peran kopilot ini tentu tidak mudah. Peran kopilot ini jauh lebih kompleks dan butuh kesungguhan, serta passion dari dosen ketika mendampingi mahasiswa menjelajah dunia masa depannya.

Baca juga: Membingkai Keberagaman dalam Semangat Kampus Merdeka

Hal itu sangat dibutuhkan agar kita bisa melahirkan manusia unggul, kreatif, inovatif dan punya kompetensi yang sesuai dengan yang dibutuhkan ketika memasuki dunia kerja.

Kita menyadari akan banyaknya keluhan dari dunia industri dan dunia usaha bahwa lulusan perguruan tinggi tidak selalu sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan, dan selalu tertinggal dengan kemajuan yang ada di dunia kerja.

Hal inilah yang harus mendorong kita untuk mempersiapkan diri dan melakukan disrupsi diri agar dapat melakukan adaptasi dan transformasi yang cepat pada pendidikan tinggi, agar sesuai dengan kebutuhan Society 5.0.

Society 5.0 merupakan masyarakat yang hidup berdampingan dengan teknologi, perubahan yang cepat, dan masyarakat yang penuh kreativitas.

Bidang perekonomian ke depannya akan semakin ditentukan oleh kreativitas dan inovasi dari sumber daya manusia.

Bahkan, Mckinsey memperkirakan dalam 10 tahun ke depan, 23 juta lapangan pekerjaan di Indonesia akan hilang tergantikan oleh Artificial Intelegence, Internet of Things, mesin yang dapat berpikir, dan kemampuan analisis yang semakin dahsyat.

Sementara itu, kita masih mendidik para mahasiswa dengan pembelajaran era Industri 2.0 atau 3.0. Maka kita harus cepat mengejar ketertinggalan ini, antara lain melalui program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka.

Bagaimana? Sudah bisa move on?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com