Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Jangan Bunuh Kreativitas

Kompas.com - 31/10/2020, 11:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SATU di antara sekian banyak hasil yang bisa disimpulkan dari pengamatan yang dilakukan oleh Pusat Studi Kelirumologi adalah kecurigaan bahwa pendidikan formal apalagi yang bersifat indoktrinatif potensial membunuh kreativitas.

Bertanya

Secara empiris saya bisa membuktikan keabsahan kecurigaan tersebut dengan fakta bahwa sebelum masuk sekolah formal saya gemar bertanya ini dan itu atau anu dan una. Agak-agak mirip kegemaran bertanya yang konon menurut Plato dilakukan Sokrates.

Maka ketika mulai ibu guru mengajari saya dan teman-teman senasib duduk di bangku sekolah formal tentang aritmatika bahwa 2+2=4 langsung spontan saya angkat tangan untuk mohon izin bertanya “Kenapa 2+2=4?”.

Alih-alih menjawab, ibu guru langsung menghukum saya untuk berdiri di sudut depan kelas demi memberi efek jera agar saya sebagai murid tidak bertanya masalah yang guru tidak bisa menjawab.

Terbukti efek jera itu berhasil menjerakan saya untuk bertanya macam-macam kepada guru.

Selanjutnya semua pertanyaan yang menghantui benak saya tidak berani saya ajukan kepada guru namun saya berupaya mandiri untuk mencari jawaban tak kunjung berhasil sampai saat naskah ini saya tulis.

Musik

Secara naluriah di masa remaja saya gemar menggunakan gerak paralel interval kuint dan kuart bahkan juga tritonus di dalam upaya saya menggubah komposisi musik.

Saya juga gemar menggunakan gamitan hitam pada alat musik pianoforte sebagai lima nada pentatonik universal yang digunakan seluruh umat manusia di planet bumi termasuk Indonesia sebagai lima nada yang siap diolah semau saya sendiri baik dalam improvisasi mau pun komposisi terbakukan.

Dengan bangga saya pamer komposisi saya yang menggunakan kuint, kuart, tritonus paralel serta pentatonik universal kepada mahaguru ilmu harmoni (Barat) serta komposisi (Barat) di Musikhochschule di Jerman.

Alih-alih memuji, mahaguru saya menyatakan saya telah melakukan kekeliruan tidak mematuhi standar saintifikasi seni musik Barat.

Maka agar bisa lulus ujian akhir, terpaksa saya sebagai manusia yang dilahirkan dan dibesarkan di lahan peradaban Nusantara menanggalkan segenap kreativitas saya sendiri demi menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah kreativitas musik Barat.

Namun setelah lulus ujian, segera saya kembali mengembangkan kreativitas saya sendiri yang lebih sesuai dengan peradaban tanah air angkasa saya sendiri.

Osmar

Anak angkat saya, Osmar Semesta Susilo, jenius aritmatika di masa kanak-kanak. Dengan santai Osmar bisa menghitung lebih cepat ketimbang kalkulator misalnya 521X793 langsung begitu saja keluar jawabannya yaitu 413153.

Buat Osmar kesaktian semacam itu bukan sesuatu yang istimewa sebab sudah mendarahdaging pada dirinya sendiri.

Sampai pada suatu hari, (lagi-lagi) guru mengajukan soal hitungan yang pada masa saya sekolah disebut mencongak 2579+8642=?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com