Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indra Charismiadji
Pemerhati dan praktisi edukasi 4.0

Pemerhati dan praktisi edukasi 4.0, Direktur Eksekutif CERDAS (Center for Education Regulations & Development Analysis), Direktur Pendidikan Vox Populi Institute Indonesia

Satu Tahun Jokowi-Ma'ruf, Menilik Program Pembangunan SDM Unggul

Kompas.com - 20/10/2020, 10:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sejak PISA pertama kali diluncurkan di tahun 2000, Indonesia belum pernah sekali pun menunjukkan keunggulannya. Pada PISA tahun 2018 yang lalu, untuk literasi Indonesia mendapatkan skor 371, sedangkan rerata negara-negara OECD mendapatkan skor 487.

Indonesia mendapatkan skor 379 untuk numerasi dibandingkan rerata negara-negara OECD di 489. Untuk sains, Indonesia mendapatkan skor 396 sedangkan rerata negara-negara OECD di 489.

Kondisi saat ini SDM Indonesia jauh dari kata unggul karena berada jauh di bawah rata-rata negara lain.

Data yang lebih detil lagi bisa dilihat perbandingan antara peserta didik dari Indonesia dibandingkan dengan Vietnam dan rerata negara-negara OECD untuk urusan literasi (membaca).

Sebanyak 55,4 persen anak Indonesia kemampuan membacanya berada di level 1 (terendah), sedangkan Vietnam hanya 13,9 persen dan rerata negara OECD di 20,1 persen.

Vietnam dan negara-negara OECD lain menempatkan porsi terbesar pada kemampuan membaca di level 3, Vietnam 35,2 persen dan negara-negara OECD di 27,9 persen.

Ini yang membuat lemahnya kemampuan siswa Indonesia untuk belajar.

Baca juga: Seleksi Pendamping Guru Penggerak Terbuka untuk Praktisi Pendidikan

Program pendidikan yang "itu-itu saja"

Jika tidak mampu membaca, dalam kajian Bank Dunia dibahasakan functionally illiterate alias bisa membaca tetapi tidak paham makna dari apa yang dibaca, maka SDM Indonesia tidak mampu untuk belajar apa pun. Tidak mampu belajar artinya bukanlah SDM yang unggul.

Lebih jauh lagi, distribusi kemampuan membaca anak Indonesia tersebut diatas menunjukkan kurva abnormal karena prosentase terbesar berada di level terendah atau level 1.

Adapun Vietnam dan negara-negara OECD lain persentase terbesar berada pada level membaca ditingkat menengah atau level 3. Dengan data yang demikian, seakan bersekolah di Indonesia justru membuat anak semakin bodoh.

Data-data dari PISA tersebut dapat dijadikan titik awal program pembangunan SDM Indonesia alias titik jemput kalau menggunakan aplikasi Gojek. Sayangnya, hal tersebut tidak pernah sekali pun disebutkan dalam penyusunan program-program pendidikan Indonesia.

Centre for Education Economics, sebuah organisasi riset pendidikan dari Inggris, dalam Annual Research Digest 2017-2018 yang diterbitkannya, memuat sebuah kajian tentang sistem pendidikan Indonesia yang berjudul, "15 years of education in Indonesia: rising enrolment and flat learning profiles" (Beatty, Berkhout, Bima, Coen, Pradhan, Suryadarma).

Dijelaskan dalam kajian tersebut bahwa selama 15 tahun tidak ada perkembangan dalam mutu pendidikan Indonesia yang disebabkan karena sikap komplasen bangsa Indonesia terhadap dunia pendidikan.

Semua orang menganggap semuanya baik-baik saja padahal kalau jika kita melihat hasi PISA, kondisi Indonesia berada pada posisi yang sangat memprihatinkan.

Program-program pemerintah Indonesia dalam bidang pendidikan dalam kajian tersebut diatas dikatakan juga cenderung tidak berubah alias itu-itu saja tetapi anggarannya ditambah terus.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com