Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Penjelasan Menristek Terkait Potensi Tsunami 20 Meter di Selatan Jawa

Kompas.com - 30/09/2020, 19:19 WIB
Albertus Adit

Penulis

KOMPAS.com - Beberapa hari ini, banyak berita yang menjelaskan mengenai ancaman tsunami di pantai selatan Pulau Jawa.

Berita yang muncul di media massa itu terkait hasil kajian atau riset potensi tsunami mencapai ketinggian 20 meter di selatan Jawa dari peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB).

Riset peneliti ITB telah terbit di Jurnal Nature Scientific Report pada Kamis (17/9/2020). Tak heran jika banyak berita muncul mengenai potensi tsunami di selatan Jawa tersebut.

Baca juga: Menristek Dorong Inovasi Tepat Guna Perguruan Tinggi bagi UKM

Gempa tidak bisa diprediksi

Untuk memberikan penjelasan dan klarifikasi kepada masyarakat terkait isu tersebut, Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) mengadakan Virtual Conference Zoom, Rabu (30/9/2020).

Hadir pada acara tersebut Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro serta para pakar yang juga peneliti dari ITB, LIPI, BNPB dan BMKG.

"Perlu dipahami bahwa kita tinggal di wilayah sabuk api atau mempunyai potensi bencana alam gunung meletus, gempa bumi dan tsunami," ujar Menristek saat membuka acara tersebut.

Hanya saja, bencana gempa bumi memang ada kemungkinan menimbulkan tsunami. Namun, menurut Bambang Brodjonegoro, dari segi keilmuan sampai saat ini belum ada metodologi atau teori yang bisa memprediksi akan atau kapan terjadi gempa.

"Gempa belum bisa diprediksi dari awal. Jadi, dari riset ini untuk kita lebih waspada dan antisipatif terhadap gempa dan tsunami," tegas Menteri Bambang.

Tingkatkan kewaspadaan bagi masyarakat

Tak hanya itu saja, Menristek juga mengungkapkan bahwa kajian ini menuntut kita untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan.

Namun, dengan penjelasan dan klarifikasi ini Menteri Bambang berharap agar mampu meredam dampak dari riset peneliti ITB. Masyarakat diminta untuk tidak panik tetapi tetap waspada.

Sementara penjelasan dari salah satu tim peneliti ITB, Sri Widiyantoro mengatakan, riset ini dimulai dari rasa keingintahuan setelah ada paper dari Amerika pada 2016 mengenai tsunami di Pangandaran.

Namun untuk lokasi Megathrust itu secara pasti belum bisa dipastikan. Hanya pihaknya memprediksi di selatan Pulau Jawa sebelah barat dan sebelah timur.

"Di dalam ilmu gempa bumi, maka gempa itu tidak bisa diprediksi sampai sekarang. Kalaupun bisa maka itu tsunami yang dibuat dengan berbagai skenario," jelasnya.

Metode gas random masih ambigu

Sedangkan Endra Gunawan yang juga dari ITB mengungkapkan bahwa ada peneliti dari institusi pendidikan yang mampu membuat alat prediksi 3 hari sebelum gempa dengan metode gas randon itu sampai saat ini metode tersebut masih ambigu.

"Mengenai riset terkait penggunaan randon itu sudah dilakukan peneliti di luar negeri. Tapi sampai sekarang penggunaan randon masih ambigu. Sebab, tidak bisa mendefinisikan dengan jelas sampai saat ini," terang Endra.

Di akhir acara, Menristek Bambang Brodjonegoro kembali menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada metodologi atau model untuk memprediksi gempa.

"Daripada panik, lebih baik kita mengantisipasi dalam bentuk kesiapsiagaan dengan mitigasi bencana. Kami akan berupaya dengan pendekatan teknologi untuk mengedepankan mitigasi bencana," tandas Menteri Bambang.

Hanya saja untuk ancaman tsunami, Bambang Brodjonegoro terus mengembangkan sistem informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami atau Early Warning System (EWS).

Baca juga: Menristek: Bahan Bakar Nabati Sawit Jadi Harapan Baru Indonesia

EWS itu berbentuk BUOY dan InaCBT yang diletakkan di sepanjang pantai selatan pulau Jawa. EWS ini untuk mengurangi dampak kerugian akibat dari bencana tsunami.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com