Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Film “Tilik” Tuai Kritik, Pakar Unair: Itu Sebuah "Keberhasilan"

Kompas.com - 01/09/2020, 09:46 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

KOMPAS.com - Tilik, film pendek yang mengambil latar tempat di Yogyakarta bercerita tentang perjalanan ibu-ibu yang hendak menjenguk atau tilik Bu Lurah yang dirawat di rumah sakit di kota.

Sepanjang perjalanan menaiki truk, Bu Tejo dan ibu-ibu desa lainnya bergunjing tentang Dian, yaitu seorang warga yang masih berstatus lajang.

Karakter Bu Tejo yang cerewet, judes, dan ceplas-ceplos itulah yang berhasil membuat Tilik mendapat jumlah viewers hingga 17 M. Tagar #Tilik dan #BuTejo pun berhasil trending di Twitter.

Di luar popularitasnya sebagai karya film pendek, film yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo itu memunculkan beragam kritik dari masyarakat. Mulai dari dianggap sebagai film yang tidak mendidik hingga anti-feminisme.

Baca juga: Pakar IPB: Prospek Cerah Bisnis Cacing Tanah untuk Bahan Baku Obat

Menanggapi hal itu, dosen Kajian Sinema Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Airlangga (Unair) Satrya Wibawa menganggap itu sebagai "keberhasilan" film Tilik.

Munculnya beragam kritik menurut Satrya justru secara tidak langsung menunjukkan sebuah ‘keberhasilan’ film Tilik dalam mengusik pemikiran penonton dan memancing kesadaran akan berbagai fenomena masyarakat.

"Saya tidak dalam posisi membenarkan atau membantah kritik-kritik yang muncul karena setiap individu memiliki konteks dan latar belakang berbeda dalam menafsirkan. Justru saya melihat dialektika yang terjadi menunjukkan ‘suksesnya’ film tersebut dalam mengusik pemikiran penonton, memunculkan banyak pertanyaan, keraguan, kritikan, dan juga pujian dalam waktu yang bersamaan," ucapnya.

Baca juga: Jadwal dan Cara Daftar KIP Kuliah Jalur Mandiri PTN dan PTS 2020

Satrya juga melihat bahwa beragam kritik tersebut berhasil memancing kesadaran masyarakat akan persoalan stereotip dan posisi lemah perempuan dalam budaya patriarki yang masih banyak terjadi dan belum tuntas.

Kesadaran akan hal itu, kata dia, perlu dipancing yang salah satunya melalui sebuah karya film.

“Ada konsep dan penggambaran tentang perempuan yang perlu dipertanyakan dan menarik untuk didiskusikan dalam film Tilik. Hal itulah yang justru patut diapresiasi dari sisi yang berbeda karena konsep itu berhasil menjadi sebuah lokasi dialektika,” papar Satrya seperti dilansir dari laman resmi Unair.

Ia mengatakan bahwa sebuah karya film harus siap untuk dikritik dan diinterpretasikan atau dibaca maknanya oleh masyarakat luas secara berbeda-beda.

Dalam studi sinema, jelas dia, kritik adalah bagian dari pembacaan sebuah film yang bagus untuk menunjukkan bahwa penonton tidak hanya berperan sebagai penikmat saja, namun mereka juga memerhatikan dengan baik dan mampu merespon sebuah karya.

Baca juga: Beasiswa S1 Tanoto Foundation, dari Biaya Kuliah hingga Tunjangan Bulanan

Namun, Satrya menyayangkan masih banyak orang yang belum bisa menerima kritik film sebagai bagian yang bermanfaat dalam pembuatan film.

Satrya menilai bahwa film yang berdurasi sekitar 32 menit itu secara keseluruhan sangat menarik karena mampu membangkitkan gelombang kreativitas seperti munculnya meme, stiker Bu Tejo, istilah-istilah baru, dan menjadi perbincangan di berbagai media.

“Sebagai film pendek, Tilik sebagai sebuah film pendek menunjukkan sebuah proses dialektika yang menarik. Semoga setelah ini banyak orang yang kembali membuat film pendek menarik lainnya,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com