Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 25/08/2020, 22:53 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Oleh: Yanuar Nugroho 

KOMPAS.com - Bangsa ini punya mimpi: memimpin dunia di usia 100 tahun pada 2045 nanti, sebagai negeri dengan ekonomi terbesar keempat atau kelima di muka bumi. Kunci mengejar mimpi ini adalah manusianya sehat dan terdidik baik. Tanpa itu, mimpi itu tinggal mimpi.

Karena itu, tak heran satu topik abadi dalam berbagai diskusi dan narasi adalah kesehatan.

Mulai dari kebijakan hingga praktik pembangunan, tanpanya, semua sia-sia. Apalagi di hari-hari saat Covid- 19 mendera kita.

Tapi masalahnya, mungkin juga karena terpaan teknologi informasi ini, semua orang ujug-ujug kelihatan jadi ahli. Lihat saja di akun media sosial anda kalau mau bukti.

Dari soal virus corona, stunting, stroke, kanker, jantung, sampai soal berat badan ideal, dan agar awet muda, mendadak semua orang seolah jadi ahlinya.

Baca juga: Saat Polisi Antar Buku dan Bantu Anak Pulau Lutungan Belajar di Rumah

Sehat: kodrat dan pilihan

Karena itu, bagi saya, buku 173 halaman ini hadir di saat yang tepat. Dalam seluruh hingar-bingar ini, ia membongkar seluruh cara berpikir kita mengenai kesehatan. Ini bukan buku yang berat dibaca. Bahkan bagi awam, ia akan terasa mudah dicerna.

Namun yang jelas, ia menjawab kegelisahan kita akan informasi kesehatan yang kredibel dan bisa dipercaya.

Argumen pokok yang disampaikan dr. Tan Shot Yen, sang penulis, adalah bahwa sehat itu kodrat sekaligus pilihan. Argumen ini tersebar di sepanjang buku ini dengan berbagai ungkapannya.

Mulai dari pemahaman apa itu penyakit (h.19), pentingnya nutrisi (h.39), hingga sikap terhadap pikiran dan hati (h.113). Tapi penegasan bahwa sehat itu juga adalah pilihan ditekankan pada pentingnya kehendak bebas manusia untuk memilih.

Utamanya adalah apa yang dia makan (bab 3-6), lakukan (bab 7) dan pikirkan serta rasakan (bab 8).

Sebagai dokter yang belajar filsafat secara khusus, dr Tan memberi perhatian pada kaitan antara yang fisik dan non-fisik (pikiran, emosi) sebagai kunci memahami kesehatan.

Ia menekankan perlunya transformasi cara berpikir Newtonian (sebab-akibat linear) menuju Einsteinian (kuantum, non-linear) (h.160-164) dalam dunia kesehatan.

Mungkin sekilas akan terdengar atau terasa aneh, mengingat ilmu kesehatan sarat dengan logika sebab-akibat dalam mendiagnosis dan mengobati penyakit secara fisik.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Rekomendasi untuk anda
28th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com