Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

I-4 Diaspora: Pelajaran dari Jepang Dalam Penanganan Covid-19 dan "New Normal"

Kompas.com - 14/06/2020, 21:51 WIB
Yohanes Enggar Harususilo

Penulis

Oleh: Dr. Dedy Eka Priyanto (Senior Consultant, KPMG) | Dr. Muhammad Aziz (Associate Professor, University of Tokyo) | Dr. Satria Zulkarnaen Bisri (Research Scientist, RIKEN & Visiting Associate Professor, Tokyo Institute of Technology)

KOMPAS.com - Hampir dua bulan pemerintah Jepang memberlakukan status keadaan darurat di seluruh wilayah Jepang sejak 7 April 2020 yang lalu, dan upaya pemerintah dalam melandaikan kurva jumlah kasus Covid-19, membuahkan hasil.

Setelah mencapai puncak jumlah kasus (lebih 700 orang/hari) pada tanggal 11 April 2020, kasus baru Covid-19 terus mengalami penurunan dan pada tanggal 25 Mei 2020 akhirnya pemerintah Jepang mencabut status darurat seluruh nasional.

Pada bulan Juni, jumlah kasus harian masih relatif stabil di bawah 50 kasus secara nasional.

Cara Jepang dalam menangani Covid-19 tidaklah sempurna, namun banyak hal yang bisa dipetik sebagai pelajaran:

Status keadaan darurat

Status keadaan darurat di Jepang cukup unik dan sangat berbeda dengan negara lain pada umumnya yang membatasi pergerakan warganya secara ketat dan ada hukuman bila melanggar.

Baca juga: I-4 Diaspora: Situasi Normal Baru di Korea, Apa Pelajaran Bisa Kita Dapatkan?

 

Alih-alih bisa memerintahkan lockdown, atau memerintahkan pembatasan sosial, status keadaan darurat hanya membolehkan pemerintah Jepang memberikan anjuran.

Berdasarkan konstitusi Jepang, negara wajib menjamin kebebasan individu, namun tidak tertulis pengecualian ketika keadaan darurat.

Sehingga pada saat keadaan darurat pun, pemerintah tidak memiliki wewenang menghukum orang yang tidak mentaati anjuran pemerintah.

Walaupun demikian, dengan dinyatakannya status keadaan darurat, pertama kalinya sejak selesai Perang Dunia II, mampu memberi pesan kuat kepada warganya akan bahaya Covid-19.

Sebelum diberlakukannya status ini, tidak sedikit yang cuek dan tidak mentaati anjuran pemerintah untuk tetap di rumah, khususnya di kalangan anak muda.

Kota Shibuya, Harajuku yang menjadi favorit tempat nongkrong anak muda, masih cukup ramai.

Ditambah lagi, masih banyak pekerja tidak melakukan telework. Berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan Tenaga Kerja Jepang (MHLW) bekerjasama dengan LINE pada akhir bulan Maret 2020 lalu, hanya 5,6 persen dari peserta survei melakukan telework/working from home.

Namun setelah diberlakukannya keadaan darurat secara nasional, kewaspadaan masyarakat semakin meningkat.

Hal ini ditandai dengan berkurang drastisnya (70-80 persen) trafik di stasiun yang biasanya ramai, seperti stasiun Tokyo, Shibuya, dan Umeda (Osaka) yang diukur dari sinyal pergerakan telepon genggam.

Jepang memiliki libur panjang tanggal 29 April hingga 6 Mei 2020, atau yang lebih dikenal sebagai Golden Week. Lazimnya ketika Golden Week, banyak orang pulang ke kampung halaman atau berwisata ke daerah menggunakan Shinkansen.

Ketika keadaan darurat diterapkan dan pemerintah menetapkan anjuran untuk tidak berpindah kota, jumlah penumpang Shinkansen mengalami penurunan sangat drastis hingga 98 persen dibanding tahun lalu.

Selain itu, mayoritas perusahaan di Jepang juga mengambil kebijakan untuk memerintahkan karyawannya bekerja di rumah dan melarang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota dan luar negeri. Pertemuan dengan klien juga lebih banyak dilakukan secara online.

Baca juga: I-4 Diaspora: Tanpa WHO dan Lockdown, Taiwan Berhasil Lewati Pandemi Covid-19

Dari survei LINE di akhir bulan april menunjukkan peningkatan responden yang melakukan telework mencapai 27 persen secara nasional, dan 52 persen untuk kota Tokyo.

Hal-hal di atas menunjukkan keefektifan status kondisi darurat dalam menekan perpindahan warga Jepang, sehingga penyebaran kasus Covid-19 dari kota-kota besar, bisa ditekan, walaupun kebijakan pemerintah yang ada tidak dibuat memaksa.

Hindari 3Cs

Salah satu cara Jepang melawan Covid-19, mensosialisasikan dengan bahasa yang lugas dan mudah dimengerti. Disaat negara lain lebih mensosialisasikan social distancing, Jepang sejak awal mensosialisasikan “Hindari 3-Mitsu” (bahasa Jepang) atau 3Cs (bahasa Inggris).

3Cs merupakan singkatan bahasa inggris yaitu Closed spaces (ruang tertutup), Crowded places (tempat keramaian), dan Close-contact settings (berbicara dengan jarak dekat).

Kebijakan sosialisasi ini diambil setelah kasus klaster Covid-19 banyak ditemukan di tempat tertutup seperti live-music house dan karaoke pada awal bulan Februari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com