Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli Paru UNS Beri Rekomendasi terkait Gejala Covid-19 Kini Bervariasi

Kompas.com - 22/05/2020, 10:32 WIB
Albertus Adit

Penulis

KOMPAS.com - Gejala seseorang terinfeksi virus corona atau Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) ialah berkaitan dengan saluran pernapasan seperti batuk, sesak napas, bersin, dan demam tinggi.

Tentu hal ini tercantum pada panduan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan RI. Meski demikian, gejala itu kini tak lagi jadi acuan seseorang kena virus corona. Sebab, gejala dan tanda virus corona sangat bervariasi.

Seperti diungkapkan Prof. Dr. Reviono, dr., Sp.P(K), Pulmonologi atau Ahli Paru yang juga Guru Besar Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, berbagai gejala tersebut tidak dapat lagi menjadi pegangan.

Baca juga: Ventilator Pernapasan Pasien Covid-19 Buatan UNS Dirancang Khusus

Gejala Covid-19 bervariasi

Karena, gejala dan tanda Covid -19 sangat bervariasi, tidak lagi khas suatu wajah infeksi virus pada saluran pernapasan. Sudah banyak kasus positif tanpa menunjukkan gejala saluran pernapasan dan demam.

"Sekarang sudah banyak pendapat mengenai Orang Tanpa Gejala (OTG) yang berdampak mempersulit deteksi untuk kasus Covid- 19 ini," ujarnya seperti dikutip dari laman UNS, Kamis (21/5/2020).

Hal ini dapat diterangkan karena reseptor virus Covid-19 (SARS CoV2) mempunyai reseptor di berbagai organ, mulai dari hidung, paru, usus, mata dan lain lain, hanya dengan jumlah yang berbeda-beda.

Tak hanya itu saja, kini juga terdapat kasus Covid-19 yang tidak menunjukkan gejala sebagaimana gangguan pernapasan berat (Acute Respiratory Distress Syndrome/ARDS) pada umumnya.

Tandanya yaitu merasa gelisah dan menurun kesadarannya meskipun memiliki gambaran rontgen toraks perselubungan luas dan hipoksemia berat.

Lebih jauh, Prof Reviono menjelaskan bahwa pada pemeriksaan radiologi, keberadaan infiltrat atau flek semacam kabut tipis pada hasil rontgen paru diyakini merupakan tanda atau gejala Covid-19.

Namun kenyataan di lapangan tidak mesti demikian. Ada kasus dengan keberadaan infiltrat yang jelas ternyata gejala penyakit leptospirosis. Sebaliknya, terdapat kasus dengan foto rontgen paru normal, ternyata hasil PCR Covid-19 positif.

"Dari berbagai macam variasi gejala dan tanda klinis, laboratoris, radiologis, dan juga patogenesis tersebut tentu mengakibatkan munculnya berbagai macam cara pengobatan," katanya.

"Tidak kurang dari 30 macam terapi yang sudah diteliti untuk digunakan pada kasus Covid-19. Meskipun demikian belum ada terapi yang direkomendasikan secara global dan terbukti efektif untuk Covid 19," imbuhnya.

Peneliti harus aktif meneliti

Karenanya, Prof Reviono menyarankan para klinisi sekaligus peneliti di Indonesia untuk aktif meneliti berbagai macam terapi tersebut untuk berbagai wilayah.

Harapan ke depan, Indonesia mempunyai data dasar dengan karakteristik untuk populasi Indonesia yang dapat membantu para klinisi memiliki referensi kuat.

Selain itu, apabila di kemudian hari muncul wabah serupa, maka para peneliti akan dapat mengembangkan terapi yang sudah diteliti sebelumnya.

Terkait penelitian, Prof Reviono memberikan rekomendasi, yakni:

  • Pentingnya pembuatan sistem pelayanan dalam penelitian. Selama belum ada terapi yang definitive untuk virus corona, maka memberikan obat yang dianggap mampu menyebabkan penyakit tersebut oleh para klinisi adalah keniscayaan.
  • Perlu adanya regulasi khusus yaitu penelitian dalam pelayanan agar dapat dilakukan pengawasan secara tepat.
  • Agar pihak terkait memiliki prioritas yang harus mempertimbangkan masalah klinis pasien Covid-19.

Dua macam terapi yang diperlukan segera:

  • Terapi kausatif, di mana obat yang memang didesain sebagai antivirus harus diprioritaskan.
  • Terapi khusus untuk kasus berat yang menyebabkan kematian.

"Secara umum, mengantisipasi datangnya wabah, epidemi ataupun pandemi harus dilakukan setiap negara. Harapannya, antibiotik yang dapat disintesis ulang dan disesuaikan dengan bakteri target pada penyakit akibat bakteri, seperti tuberkulosis dan pneumonia bacterial dapat juga dilakukan pada virus," jelasnya.

Baca juga: Pembatasan Aktivitas di Kampus UNS Diperpanjang hingga Akhir Mei

Hal lain ialah dengan banyaknya variasi pada Covid-19, termasuk terapi dan pengobatannya, maka Prof. Reviono menekankan pentingnya membiasakan masyarakat luas agar akrab dengan Evidence Based Medicine (EBM) atau pengobatan berbasis bukti penelitian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com