Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heryadi Silvianto
Dosen FIKOM UMN

Pengajar di FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) dan praktisi kehumasan.

Perlunya "Socmed Distancing" di Tengah Pandemi Covid-19

Kompas.com - 30/04/2020, 14:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

COVID-19 secara nyata telah mengubah pola interaksi dan perilaku manusia di dunia, utamanya dalam berkomunikasi interpersonal.

Buktinya saat ini kita mulai akrab dengan frasa physical distancing atau menjaga jarak dalam upaya mencegah penyebaran virus tersebut.

Dalam perkembangan frasa tersebut kemudian diafirmasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menggantikan social distancing atau jaga jarak sosial yang terkesan ‘memutus mata rantai’ manusia sebagai makhluk sosial.

Covid-19 tidak hanya menyangkut persoalan medis, namun sudah menjadi persoalan yang multidimensi termasuk menyentuh bahasan komunikasi.

Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, menyatakan, sekarang diperlukan langkah-langkah mendesak yang harus diambil untuk mengatasi coronavirus infodemic.

Sebuah kekhawatiran terkait banyaknya informasi yang membingungkan mengenai pandemi ini di tengah-tengah publik tentang siapa dan sumber informasi apa yang harus dipercaya.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Gutteres, juga menegaskan hal serupa pada hari selasa (14/4/2020) di New York.

Masyarakat agar lebih waspada terhadap kabar bohong dan informasi salah yang diedarkan melalui media sosial dengan tujuan menebarkan rasa takut dan kepanikan. Situasi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun di banyak belahan negara lain.

Baca juga: Kabar Bohong Seputar Virus Corona Marak di Ukraina

Sebagian pihak berusaha menimbulkan ketakutan dan kepanikan dengan rumor yang belum diverifikasi, klaim yang berlebihan dan kabar bohong (hoaks).

Bahkan di antaranya ada bentuk ketidaksukaan atau ketakutan terhadap warga negara lain atau yang dianggap asing (xenophobia) dan rasis dengan main hakim sendiri (digital vigilantism) serta pengkambinghitaman.

Kabar bohong tersebut menjalar efektif melalui media sosial dan kerap mengarahkan publik pada tindakan yang justru bisa membahayakan kesehatan. Para pelaku jahat telah mengambil keuntungan dari rasa ingin tahu dan melihat situasi saat ini sebagai kesempatan.

Disadari bahwa arus informasi dan pesan saat ini tidak bersifat tunggal atau linier, publik tidak hanya mendapatkan informasi dari media mainstream dan otoritas resmi.

Ada perubahan yang sangat mendasar dari cara publik mengkonsumsi informasi melalui media (media habit), di mana sebagian besar masyarakat mendapatkan informasi dari media sosial.

Pesan tersebut menelisik langsung ke setiap orang lewat gawai tanpa restriksi yang memadai. Meski kemudahan akses terhadap media sosial membawa dampak positif, namun di saat yang bersamaan terbuka peluang disusupi hoaks.

Ilustrasi media sosialKOMPAS.COM/THINKSTOCKS/NICO ELNINO Ilustrasi media sosial
Minimnya informasi dari otoritas resmi ditengarai menjadi sebab menjamurnya kabar bohong di masyarakat, terlebih dalam sejumlah kesempatan silang pendapat antar pejabat terjadi dalam penanganan Covid-19.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com