KOMPAS.com - Bisa mengeja lalu membaca dengan lancar hanyalah awal dari proses pembelajaran literasi. Lebih dari itu, literasi perlu dipahami lebih dalam agar siswa memiliki kompetensi literasi yang utuh.
Kemampuan literasi akan sangat memengaruhi penalaran dan kompetensi. Sehingga siswa Indonesia perlu dibekali dengan kecintaan pada aktivitas literasi sejak dini.
Tahun depan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim resmi mengganti Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter.
Penggantian tersebut tak hanya sekadar nama, melainkan bentuk soal secara keseluruhan.
Soal-soal AKM akan terbagi atas soal Literasi dan Numerasi. AKM Numerasi terdiri dari beberapa level, yakni level pemahaman konsep, level aplikasi konsep, dan level penalaran Konsep.
Sedangkan AKM Literasi terbagi atas level penalaran konsep, level mencari informasi dalam teks, serta level literasi membaca. Artinya, bisa membaca saja tidaklah cukup.
Baca juga: Agar Anak Kompeten, Najelaa: Beri Anak Umpan Balik, Bukan Nilai
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, peringkat nilai Programme for International Student Assessment PISA Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 berada dalam urutan bawah.
Untuk nilai kompetensi Membaca, Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai Matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sedangkan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara.
Merangkum Sekolahmu, platform pendidikan yang didirikan oleh praktisi sekaligus Ketua Kampus Guru Cikal Najelaa Shihab, ada sejumlah miskonsepsi tentang literasi penyebab rendahnya nilai literasi di Indonesia.
Baca juga: UN 2020 Ditiadakan, Kenali Soal-soal Asesmen Pengganti UN Ini
1. Literasi bukan hanya kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menalar
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan