Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kartini Penggerak Inklusi, Setarakan Hak Disabilitas untuk Berkarya

Kompas.com - 21/04/2020, 11:31 WIB
Ayunda Pininta Kasih

Penulis

KOMPAS.com - Untuk mendukung kaum disabilitas berkarya di tengah keterbatasan, mulailah dengan berkenalan dan menerima perbedaan. Stigma tak semestinya menjadi penghalang untuk berkolaborasi, melainkan tantangan yang harus dihadapi bersama.

Itulah pesan singkat yang dituturkan oleh Finalis Puteri Indonesia 2019 Karina Syahna yang kini berkecimpung menjadi guru tari untuk anak-anak berkebutuhan khusus (down syndrome).

Ia mengatakan, keputusannya untuk lebih mengenal anak-anak berkebutuhan khusus membuatnya memahami bahwa mereka memiliki banyak kelebihan.

Karina pun membuktikan bahwa dukungan yang tepat dapat membuat murid-murid tarinya terjun ke pentas seni internasional dan mendapatkan banyak apresiasi atas prestasi tari.

Baca juga: Agar Anak Kompeten, Najelaa: Beri Anak Umpan Balik, Bukan Nilai

Hal serupa juga dijalani Dian Sastrowardoyo yang sama-sama hadir sebagai pembicara dalam konferensi daring M-Takls 2020: Kartini Penggerak Inklusi yang diselenggarakan oleh Rumah Millennials dan Konekin Indonesia, Minggu (19/4/2020) lalu.

Dian bercerita kalau ia juga memiliki pengalaman dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus.

Dian Sastro dan pengalaman terapi anak

Sebagai seorang ibu, Dian memiliki insting bahwa ada yang berbeda dengan anak sulungnya yang kala itu masih berusia delapan bulan. Ia curiga bahwa sang putra mengalami autisme dan memutuskan untuk konsultasi dan terapi ke dokter di Singapura.

"Untuk bisa membawa anak ke ahli itu, aku dan suami sempat bersitegang. Pertama suami aku enggak setuju keluarin uang segitu banyak, kedua aku susah meyakinkan dia kalau anak kita benar-benar memerlukan penanganan terbaik. Dia (suami) bilang 'anak saya normal kok, emang anaknya suka marah-marah aja' padahal enggak begitu," cerita Dian.

Baca juga: Belajar di Rumah Diperpanjang, Kemendikbud: Berikan Materi Life Skill dan Karakter

Karena kala itu sang suami tidak sependapat, maka Dian harus kembali bekerja demi memenuhi biaya dokter sekaligus terapi yang harga sangat mahal.

Setelah menjalani terapi selama sekitar 6 tahun, Dian amat bersyukur mengambil langkah yang tepat sehingga sang anak bisa berkembang dengan sangat baik layaknya anak-anak tanpa autisme.

"Anak saya waktu bayi tantrum (marah-marah) hampir setiap hari. Sekarang itu pas sudah bisa ngomong, sudah bisa berfungsi seperti normal, seperti orang biasa, sekarang enggak pernah marah-marah, anaknya baik banget. Malah suka cerita, aduh pokoknya bener-bener alhamdulillah banget," kata Dian.

Menurut Dian, tanggapan orang terhadap realita baru memang berbeda, ada yang mengelak bahkan tidak mau tahu. Namun menurutnya, saat masalah itu ada, jalan keluarnya ialah menemukan solusi terbaik.

Mengingat biaya terapi tidak murah, Dian juga bercerita bahwa ada seorang teman yang mendedikasikan dirinya untuk menjadi terapis bagi anaknya yang berkebutuhan khusus.

Menurutnya, macam-macam usaha tentu ada plus dan minus, namun selama ada usaha, di sana selalu ada jalan.

Disabilitas bisa dialami siapa saja

Risnawati Utami yang merupakan warga negara sekaligus perempuan Indonesia pertama di Komite Disabilitas PBB mengatakan, isu disabilitas sudah seharusnya menjadi isu bersama, bukan hanya isu milik sekelompok orang.

Baca juga: Orangtua, Ini Panduan Belajar dari Rumah lewat TVRI dari Kemendikbud

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com